Pemerintah berencana memungut pajak karbon mulai 2022. Rencana tersebut tertuang di dalam Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kelima Atas Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Aturan itu menyebutkan bahwa subjek pajak karbon adalah orang pribadi atau badan yang membeli barang mengandung karbon dan/atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan ada beberapa alasan pengenaan pajak karbon ini, salah satunya adalah isu lingkungan. Sebab, Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebanyak 26% pada tahun ini dan 29% pada tahun 2030.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Salah satu instrumen untuk mengendalikan emisi gas rumah kaca adalah diperlukan ketentuan mengenai pengenaan pajak karbon," kata Sri Mulyani beberapa waktu lalu.
Peneliti dari Alpha Research Database Indonesia Ferdy Hasiman, menilai rencana pemerintah memungut pajak karbon sulit diwujudkan sejalan dengan masih belum meredanya pandemi Covid-19 yang berdampak pada lesunya dunia usaha dan menurunnya daya beli masyarakat.
Selain itu, rencana ini dinilai akan membebani masyarakat dan memperburuk iklim usaha. Pasalnya, beban pelaku usaha atas pengenaan pajak atas emisi karbon itu bakal ditanggung oleh konsumen.
Pemerintah disarankan untuk mempertimbangkan ulang rencana pemungutan pajak karbon, mulai dari sisi besaran tarif, entitas yang akan menjadi objek pajak, serta sektor atau aktivitas yang tercakup dalam pajak karbon.
"Efek ke dunia usaha pasti besar, karena pasti menambah beban produksi, yang ujungnya juga akan ditanggung masyarakat selaku konsumen. Sementara saat ini pandemi Covid-19, daya beli masyarakat menurun. Demikian juga dengan dunia usaha, semua sektor turun dan banyak perusahaan kinerjanya turun, meskipun itu perusahaan besar," kata dia.
Lanjut halaman berikutnya.