Ini Penyebab Krisis Lebanon yang Bikin Miris

Ini Penyebab Krisis Lebanon yang Bikin Miris

Trio Hamdani - detikFinance
Jumat, 09 Jul 2021 14:56 WIB
Situasi krisis ekonomi di Lebanon semakin parah hingga membuat negara ini disebut bagai neraka oleh warganya sendiri. Hiperinflasi dan kelangkaan berbagai kebutuhan pokok membuat situasi di Lebanon semakin tak tertahankan bagi warganya.
Krisis Ekonomi di Lebanon/Foto: Pool
Jakarta -

Krisis ekonomi di Lebanon membuat kondisi negara tersebut bak neraka. Sebelum pandemi virus Corona (COVID-19) pada awal tahun 2020, Lebanon sudah menunjuk tanda-tanda menuju kehancuran.

Pada awal Oktober 2019, negara tersebut kekurangan mata uang asing sehingga membuat nilai mata uang pound Lebanon melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Demikian dikutip BBC, Jumat (9/7/2021).

Akhir tahun 2019 juga terungkap bahwa negara tersebut melakukan praktik yang disebut para analis skema piramida atau skema Ponzi, di mana bank sentral berutang kepada bank-bank komersial dengan tingkat bunga di atas rata-rata pasar. Utang tersebut untuk membayar utang lainnya dan mempertahankan Lebanon.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pada saat yang sama, orang-orang semakin marah dan frustrasi atas kegagalan pemerintah menyediakan layanan dasar. Mereka harus berurusan dengan pemadaman listrik setiap hari, kurangnya air minum yang aman, layanan kesehatan publik yang terbatas, dan koneksi internet terburuk di dunia.

Elit penguasa menjadi sasaran kemarahan publik karena telah mendominasi politik selama bertahun-tahun, dan mengumpulkan kekayaan mereka sendiri sementara gagal melakukan reformasi besar-besaran yang diperlukan untuk memecahkan masalah negara.

ADVERTISEMENT

Kemudian, kebakaran hutan yang belum pernah terjadi sebelumnya di pegunungan barat negara itu mengungkap betapa Lebanon kekurangan dana dan peralatan pemadam kebakaran.

Situasi krisis ekonomi di Lebanon semakin parah hingga membuat negara ini disebut bagai 'neraka' oleh warganya sendiri. Hiperinflasi dan kelangkaan berbagai kebutuhan pokok membuat situasi di Lebanon semakin tak tertahankan bagi warganya.Situasi krisis ekonomi di Lebanon semakin parah hingga membuat negara ini disebut bagai 'neraka' oleh warganya sendiri. Hiperinflasi dan kelangkaan berbagai kebutuhan pokok membuat situasi di Lebanon semakin tak tertahankan bagi warganya. Foto: Pool

Pada pertengahan Oktober, pemerintah mengusulkan pajak baru untuk tembakau, bensin, dan panggilan suara melalui layanan pesan seperti WhatsApp untuk meningkatkan pendapatan, tetapi serangan balasan memaksanya untuk membatalkan rencana tersebut.

Apa yang telah terjadi menimbulkan gelombang ketidakpuasan yang telah membara di Lebanon selama bertahun-tahun. Puluhan ribu orang Lebanon turun ke jalan, yang menyebabkan pengunduran diri Perdana Menteri Saad Hariri yang didukung Barat dan pemerintah persatuannya.

Protes yang terjadi menjadi sebuah fenomena langka sejak perang saudara 1975-1989 yang menghancurkan negara itu berakhir, dan membuat negara itu hampir terhenti.

Perdana Menteri yang baru diangkat kala itu, Hassan Diab kemudian mengumumkan bahwa Lebanon akan gagal membayar utang luar negerinya untuk pertama kalinya dalam sejarahnya, dengan mengatakan cadangan mata uang asingnya telah mencapai tingkat kritis dan berbahaya, dan bahwa sisanya diperlukan untuk membayar impor yang mendesak.

Kemudian pandemi COVID-19 memperburuk keadaan. Setelah kematian pertama akibat virus Corona dan lonjakan infeksi, lockdown diberlakukan pada pertengahan Maret 2020 untuk mengekang penyebaran virus.

Di satu sisi, itu memaksa pengunjuk rasa anti-pemerintah turun dari jalan. Tetapi di sisi lain itu membuat krisis ekonomi jauh lebih buruk dan mengungkap bobroknya sistem kesejahteraan sosial di Lebanon.

Krisis Lebanon membuat banyak pegawai dirumahkan. Cek halaman berikutnya.

Simak Video: Parahnya Krisis Ekonomi di Lebanon, Warga Berebut Bensin di SPBU

[Gambas:Video 20detik]



Banyak bisnis terpaksa memberhentikan staf atau membuat mereka cuti tanpa bayaran, alias dirumahkan. Kesenjangan antara nilai pound Lebanon terhadap nilai tukar resmi dan pasar gelap melebar, dan bank memperketat kontrol modal.

Ketika harga naik lebih jauh, banyak keluarga tidak dapat membeli, bahkan untuk sekedar memenuhi kebutuhan dasar.

Tumbuhnya kesulitan ekonomi memicu kerusuhan baru. Pada bulan April 2020, seorang pemuda ditembak mati oleh tentara selama protes kekerasan di Tripoli dan beberapa bank dibakar.

Sementara itu, pemerintah akhirnya menyetujui rencana pemulihan yang diharapkan akan mengakhiri krisis ekonomi dan mendapatkan dukungan dari Dana Moneter Internasional (IMF) untuk paket bailout senilai US$ 10 miliar.

Pada saat pembatasan virus Corona mulai dicabut pada Mei 2020, harga beberapa bahan makanan telah berlipat ganda dan Diab memperingatkan bahwa Lebanon berisiko mengalami krisis pangan besar.

"Banyak orang Lebanon telah berhenti membeli daging, buah-buahan dan sayuran, dan mungkin akan segera menemukan kesulitan bahkan untuk membeli roti," tulisnya di Washington Post.

Sebagian besar analis tertuju pada satu faktor kunci, yaitu sektarianisme politik, atau kelompok yang menjaga kepentingan mereka sendiri.

Lebanon secara resmi mengakui 18 komunitas agama, empat Muslim, 12 Kristen, sekte Druze, dan Yudaisme. Tiga kantor politik utama, yaitu presiden, ketua parlemen, dan perdana menteri dibagi di antara tiga komunitas terbesar (Kristen Maronit, Muslim Syiah, dan Muslim Sunni) di bawah perjanjian sejak tahun 1943. 128 kursi parlemen juga dibagi rata antara Kristen dan Muslim termasuk Druze.

Keragaman agama inilah yang membuat negara ini menjadi sasaran empuk campur tangan kekuatan eksternal, seperti yang terlihat dengan dukungan Iran terhadap gerakan Syiah Hizbullah yang secara luas dipandang sebagai kelompok militer dan politik paling kuat di Lebanon.

Sejak akhir perang saudara, para pemimpin politik dari masing-masing sekte telah mempertahankan kekuasaan dan pengaruh mereka melalui sistem jaringan patronase, melindungi kepentingan komunitas agama yang mereka wakili, dan menawarkan baik legal maupun ilegal insentif finansial.

Lebanon berada di peringkat 137 dari 180 negara dalam Indeks Persepsi Korupsi 2019 dari Transparency International.

Badan pengawas itu mengatakan korupsi merambah semua lapisan masyarakat di Lebanon, dengan partai politik, parlemen, dan polisi dianggap sebagai lembaga paling korup di negara itu. Itu adalah sistem pembagian kekuasaan sektarian yang memicu jaringan patronase dan menghambat sistem pemerintahan Lebanon.


Hide Ads