Ini Penyebab Krisis Lebanon yang Bikin Miris

Ini Penyebab Krisis Lebanon yang Bikin Miris

Trio Hamdani - detikFinance
Jumat, 09 Jul 2021 14:56 WIB
Situasi krisis ekonomi di Lebanon semakin parah hingga membuat negara ini disebut bagai neraka oleh warganya sendiri. Hiperinflasi dan kelangkaan berbagai kebutuhan pokok membuat situasi di Lebanon semakin tak tertahankan bagi warganya.
Krisis Ekonomi di Lebanon/Foto: Pool

Banyak bisnis terpaksa memberhentikan staf atau membuat mereka cuti tanpa bayaran, alias dirumahkan. Kesenjangan antara nilai pound Lebanon terhadap nilai tukar resmi dan pasar gelap melebar, dan bank memperketat kontrol modal.

Ketika harga naik lebih jauh, banyak keluarga tidak dapat membeli, bahkan untuk sekedar memenuhi kebutuhan dasar.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tumbuhnya kesulitan ekonomi memicu kerusuhan baru. Pada bulan April 2020, seorang pemuda ditembak mati oleh tentara selama protes kekerasan di Tripoli dan beberapa bank dibakar.

Sementara itu, pemerintah akhirnya menyetujui rencana pemulihan yang diharapkan akan mengakhiri krisis ekonomi dan mendapatkan dukungan dari Dana Moneter Internasional (IMF) untuk paket bailout senilai US$ 10 miliar.

ADVERTISEMENT

Pada saat pembatasan virus Corona mulai dicabut pada Mei 2020, harga beberapa bahan makanan telah berlipat ganda dan Diab memperingatkan bahwa Lebanon berisiko mengalami krisis pangan besar.

"Banyak orang Lebanon telah berhenti membeli daging, buah-buahan dan sayuran, dan mungkin akan segera menemukan kesulitan bahkan untuk membeli roti," tulisnya di Washington Post.

Sebagian besar analis tertuju pada satu faktor kunci, yaitu sektarianisme politik, atau kelompok yang menjaga kepentingan mereka sendiri.

Lebanon secara resmi mengakui 18 komunitas agama, empat Muslim, 12 Kristen, sekte Druze, dan Yudaisme. Tiga kantor politik utama, yaitu presiden, ketua parlemen, dan perdana menteri dibagi di antara tiga komunitas terbesar (Kristen Maronit, Muslim Syiah, dan Muslim Sunni) di bawah perjanjian sejak tahun 1943. 128 kursi parlemen juga dibagi rata antara Kristen dan Muslim termasuk Druze.

Keragaman agama inilah yang membuat negara ini menjadi sasaran empuk campur tangan kekuatan eksternal, seperti yang terlihat dengan dukungan Iran terhadap gerakan Syiah Hizbullah yang secara luas dipandang sebagai kelompok militer dan politik paling kuat di Lebanon.

Sejak akhir perang saudara, para pemimpin politik dari masing-masing sekte telah mempertahankan kekuasaan dan pengaruh mereka melalui sistem jaringan patronase, melindungi kepentingan komunitas agama yang mereka wakili, dan menawarkan baik legal maupun ilegal insentif finansial.

Lebanon berada di peringkat 137 dari 180 negara dalam Indeks Persepsi Korupsi 2019 dari Transparency International.

Badan pengawas itu mengatakan korupsi merambah semua lapisan masyarakat di Lebanon, dengan partai politik, parlemen, dan polisi dianggap sebagai lembaga paling korup di negara itu. Itu adalah sistem pembagian kekuasaan sektarian yang memicu jaringan patronase dan menghambat sistem pemerintahan Lebanon.


(toy/ara)

Hide Ads