Bank Dunia mengatakan bahwa para pemimpin dari 23 negara Afrika pada hari Kamis (15/7) telah meminta penambahan jumlah dana pinjaman terbesar sepanjang sejarah.
Melansir Reuters, Jumat (16/7/2021), Bank Dunia mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa para pemimpin Negara Afrika ini memintakan penambahan pinjaman dana tersebut dalam sebuah deklarasi bersama setelah pertemuan puncak di Abidjan, Cote d'Ivoire.
Para pemimpin yang bertemu di Abidjan berasal dari Angola, Benin, Burkina Faso, Kamerun, Cote d'Ivoire, Republik Demokratik Kongo, Ethiopia, Ghana, Guinea, Guinea Bissau, Kenya, Liberia, Madagaskar, Mauritania, Mozambik, Niger, Nigeria, Uganda, Rwanda, Senegal, Sudan, Tanzania, dan Togo.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dikabarkan, para pemimpin negara Afrika ini meminta penambahan jumlah dana pinjaman untuk negara-negara termiskin di dunia menjadi US$ 100 miliar atau sekitar Rp 1.450 triliun dari Asosiasi Pembangunan Internasional (IDA). Dana tersebut dimintakan untuk periode pembangunan 2023-2025.
Pendanaan tersebut akan menjadi peningkatan dari pencairan sebelumnya sebesar US$ 82 miliar atau sekitar 1.189 triliun untuk periode 2021-2023 yang disepakati pada tahun 2019 lalu.
"Saya memohonkan mitra kami untuk mengambil kepemilikan atas deklarasi Abidjan ini dan secara signifikan meningkatkan kontribusi mereka untuk memerangi ketidaksetaraan dan membantu membiayai ekonomi yang paling rentan," kata Presiden Cote d'Ivoire, Alassane Ouattara, dalam pidatonya.
Sebagai catatan, perlu diketahui bahwa Bank Dunia, melalui IDA, selalu memberikan pinjaman untuk negara-negara termiskin di dunia setiap periode 4 tahun.
Penambahan ini dimintakan oleh para pemimpin negara Afrika kepada IDA dengan alasan untuk membantu ekonomi negara-negara tersebut keluar dari lubang resesi yang disebabkan oleh pandemi COVID-19.
"Ketika negara-negara Afrika bergulat dengan dampak buruk dari pandemi COVID-19, dukungan berkelanjutan dari Bank Dunia, terutama dari IDA, sangat penting untuk membantu mereka memenuhi kebutuhan pembiayaan mereka, yang sudah tinggi sebelum pandemi," kata Bank Dunia dalam sebuah laporan.