Baru-baru ini tersiar kabar bahwa ada banyak tenaga kesehatan (nakes) yang disebut resign dan memilih profesi lain di tengah pandemi Corona (COVID-19) karena beban kerja yang tak sebanding dan insentif dari pemerintah yang belum cair.
"Jumlah yang resign nggak biasa. Banyak nakes yang resign ini bukan karena hal biasa. Jadi jumlahnya banyak, nggak kayak biasa. Jadi kebanyakan bukan PNS, yang tidak punya ikatan dengan rumah sakit. Bahkan misalnya relawan. Relawan itu kan istilah benar-benar ditaruh pemerintah di situ. Jadi gajinya memang dari insentif," kata Ketua Dokter Indonesia Bersatu, Eva Sri Diana Chaniago kepada detikcom, dikutip Senin (19/7/2021).
Dia juga mengatakan, insentif itu belum cair karena pemerintah belum membayar klaim tagihan dari rumah sakit. Pasalnya, klaim itulah yang nantinya digunakan untuk membayar gaji karyawan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Selama pandemi ini banyak klaim yang belum dibayar sama Kemenkes. Rumah sakit jadinya membayar ke karyawannya juga susah, kadang dicicil," ujarnya.
Menanggapi hal tersebut, Ketua PB Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Dr. Daeng Faqih mengatakan, selama ini pihaknya belum menemukan kondisi serupa. Namun jika memang ada kejadian tersebut, yang bersangkutan harus segera melaporkan ke pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan.
"Makanya saya kira yang bersangkutan kalau bisa memberikan laporan yang lebih konkrit, bukan hanya ke IDI saya kira itu ke pemerintah justru, kalau memang ada yang seperti itu mohon segera dilaporkan kalau bisa memang data-data yang konkrit," kata Daeng saat dihubungi.
Gunanya, kata dia, agar dapat segera permasalahan diselesaikan dan mendapatkan solusi mengingat saat ini masih dalam kondisi emergency. "Ada kasus begini silakan, supaya kita bisa mengambil langkah-langkah mencari solusi, ini kira-kira karena apa dan solusinya seperti apa. Saya kira perlu disampaikan terutama kepada pemerintah, kepada Kemenkes saya kira," ujarnya menambahkan.
Dia berujar, petugas penanganan COVID-19 yang resign dan beralih profesi bisa saja dimungkinkan terjadi pada relawan COVID-19 di rumah sakit. Pihaknya akan mencari tahu lebih lanjut terkait kondisi tersebut di lapangan.
"Mungkin ini sekarang kan banyak relawan tambahan. Relawan itu bukan bekerja sesuai dengan sistem karyawan atau pegawai, mungkin ya mungkin yang disebut resign itu sudah selesai masa relawannya kemudian tidak dilanjut. Mungkin itu yang dianggap resign, saya kurang mengerti karena berita secara resmi belum saya dapat," imbuhnya.
Perihal insentif nakes, IDI memang sudah menerima laporan dari jauh hari bahwa di lapangan masih banyak tenaga kesehatan yang belum mendapatkan insentif. Dia berujar, sudah melakukan koordinasi dengan Kemenkes dan berharap agar Kemenkes segera mengambil langkah cepat.
"Kalau masalah insentif yang belum terbayar memang dari lapangan kita mendapatkan laporan. Banyak dari lapangan, karena itu IDI kemudian koordinasi ke Kementerian Kesehatan mudah-mudahan ini bisa diselesaikan," ujarnya.
Dia menilai, di tengah kondisi emergency saat ini, tenaga kesehatan sangat dibutuhkan. Seperti yang baru-baru ini dilakukan dengan menjadikan lulusan baru kedokteran dalam tim penanganan pandemi.
"Lonjakan kasusnya tinggi sekali kan ini sampai 50 ribu lebih, kemudian masih banyak masyarakat kita yang nggak tertampung di rumah sakit, sehingga akhirnya rumah sakit menambah tenda darurat kemudian tambah shelter baru. Nah itu kan butuh tenaga tambahan. Kebutuhannya memang besar jadi karena kasus melonjak tinggi dan kebutuhannya besar sehingga perlu tambahan yang segera dalam kondisi emergency ini. Karena suasananya ini kan emergency bukan suasana normal ini," ungkapnya.
Sekedar informasi, merujuk pada Surat Kemenkeu Nomor 113 Tahun 2021, besaran maksimal insentif bagi Dokter Spesialis yaitu Rp 15 juta, Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Rp 12,5 juta, dokter umum dan dokter gigi Rp 10 juta, perawat dan bidan Rp 7,5 juta, dan nakes lainnya Rp 5 juta untuk per orang dan per bulan. IDI menyebut, sejauh ini tak ada nakes yang mengeluhkan mengenai besaran tersebut.
(eds/eds)