Setelah Taliban menguasai Afghanistan pada pekan lalu, lembaga keuangan Internasional bergerak untuk menahan atau membekukan miliaran dolar aset Afghanistan. Negara itu disebut masih tergantung pada dolar.
Bagaimana tidak? Selama dua dekade, pemerintah Afghanistan ditopang dengan bantuan dari berbagai negara termasuk Amerika Serikat. Tanpa bantuan dana US$ 4,2 miliar atau sekitar Rp 60 triliun pada 2019 maka pemerintah hampir tumbang.
Afghanistan tercatat sebagai negara termiskin di dunia yang bergantung pada uang tunai. Menurut laporan Bank Dunia 2018 hanya 10% dari populasi orang dewasa yang memiliki rekening di bank.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mata uang lokal, afghani, ditopang oleh pengiriman massal dolar Amerika Serikat dari luar negeri ke bank sentral Afghanistan. Ajmal Ahmady, mantan Kepala Bank Sentral negara itu mengatakan, uang tersebut diambil sekitar US$ 9 miliar hingga US$ 10 miliar dalam mata uang asing.
Pengiriman terakhir uang tunai ke Afghanistan dijadwalkan tiba pada hari di mana Taliban merebut Kabul. Artinya, negara tersebut sebenarnya kekurangan dolar, bahkan sebelum Taliban merebut Kabul, sementara bank sentral telah membatasi penarikan.
Taliban, kata Ahmady, hanya dapat mengakses 0,1% hingga 0,2% dari total cadangan internasional Afghanistan. "Taliban dan pendukung mereka seharusnya sudah memperkirakan hasil ini. Taliban menang secara militer - tetapi sekarang harus memerintah. Ini tidak mudah," kata Ahmady dikutip dari Los Angeles Times, Senin (24/8/2021).
Kondisi ekonomi di Afghanistan tidak stabil, pasar masih dibuka akan tetapi banyak toko kelas atas (pusat perbelanjaan) tutup. Kemudian lembaga keuangan dan toko penukaran uang pun tutup.
Warga Afghanistan bisa dikatakan tak punya akses untuk mendapatkan dolar. Misalnya saja, Western Union mengumumkan bahwa mereka menangguhkan layanan sampai pemberitahuan lebih lanjut. MoneyGram, layanan penukaran lain, memutuskan berhenti bekerja di Afghanistan.
Tahun lalu, pengiriman uang ke Afghanistan mencapai sekitar US$ 788,9 juta atau sekitar Rp 11 triliun, hampir 4% dari produk domestik bruto negara itu. Anwar-ul-Haq Ahady, mantan Menteri Keuangan dan Gubernur pusat mengatakan, Afghanistan akan mengalami dampak yang sangat negatif pada ekonomi.
"Alasan utama stabilitas valuta asing adalah karena kami menerima jumlah uang yang konstan dan cukup besar. Sangat penting bagi para pemangku kepentingan di Afghanistan untuk mengenali situasinya," katanya.