Pemerintah berupaya mendorong pemanfaatan energi bersih dan menekan emisi karbon. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan pemanfaatan bioetanol. Bioenergy Australia dan U.S. Grains Council (USGC) mengadakan Virtual Webinar yang bertajuk Etanol: Dekarbonisasi Bahan Bakar Kendaraan dalam Bioekonomi.
Sebagaimana tertuang dalam Persetujuan Paris dalam Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa di Paris pada 2015, yang bertujuan untuk mengurangi emisi karbon dunia yang mulai berlaku pada tahun 2020. Pemanfaatan etanol dalam energi baru dan terbarukan menjadi satu alternatif untuk pengurangan gas emisi karbon dari sektor transportasi.
Pembicara dari Australia Keith Sharp menyebutkan bahwa tren sektor transportasi dewasa ini mengarah ke Electronic Vehicle (EV) yang memproduksi zero gas emisi karbon, namun perlu disadari tren tersebut sulit terealisasi dalam 10 hingga 20 tahun mendatang karena kendala di dalam pengembangan keekonomian dari EV, harga EV masih sangat mahal.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Isu lain adalah suplai listrik untuk EV masih didominasi dari energi fossil seperti batubara dan gas alam. Ini jelas tidak ideal dari perspektif perubahan iklim. Maka dari itu, sebelum menunjuk ke tren EV dalam 10-20 tahun ke depan bioethanol bisa menjadi alternatif dekarbonisasi di sektor transportasi.
Dalam konteks Australia, implementasi program bioetanol pada 6 pabrik bioethanol berkapasitas masing-masing 100 juta liter memiliki dampak yang sangat positif seperti: pengurangan gas emisi sebesar 2.6 juta ton per tahun, menciptakan lapangan pekerjaan hingga 4,000 secara total, yang terdiri dari sekitar 1,000 pekerjaan di wilayah sekitar pabrik pengolahan dan sekitar 3,000 indirect jobs, meningkatkan modal investasi daerah hingga US$ 720 juta dan pendapatan tahunan sebesar US$ 500 juta, serta meningkatkan kapasitas produksi baru etanol dalam negeri yang diproyeksikan sekitar 550 juta liter per tahunnya.
Saat ini, berdasarkan Climate Transparency Report 2020 mengenai perkembangan upaya pengurangan emisi di negara G20, sektor transportasi di Indonesia menyumbang emisi karbon sebesar 27% di sektor energi, di bawah sektor kelistrikan dan industri yang masing-masing menyumbang 37 persen. Penggunaan bahan bakar berbahan fosil berlebihan pada kendaraan bermotor di Indonesia disinyalir menjadi salah satu faktor utamanya.
Pemerintah telah berkomitmen untuk mengurangi gas emisi karbon secara menyeluruh hingga 29 persen pada tahun 2030. Pemerintah juga menargetkan pencapaian bauran energi baru dan terbarukan (Energy Mix) di Indonesia sebesar 23 persen hingga 2025, namun saat ini komitmen tersebut baru berhasil tercapai di angka 11.5 persen di tahun 2020, di mana angka ini berada di bawah target semula, yaitu 13 persen. Pemerintah masih harus terus menggenjot pencapaian bauran energi lebih baik lagi, mengingat tersisa empat tahun untuk target di 2025.
Salah satu program bioenergi dalam sektor transportasi yang bisa dimanfaatkan oleh pemerintah Indonesia adalah program pencampuran bensin dengan etanol untuk kendaraan bermotor. Etanol dianggap menjadi salah satu bahan kimia terbaik untuk digunakan sebagai campuran bensin karena selain dapat meningkatkan kadar oktan (octane enhancer) dalam bensin, juga mengeluarkan gas emisi yang jauh lebih rendah dibanding bensin murni.
Studi menyebutkan dengan menerapkan program E10 dalam campuran bensin, dapat meningkatkan nilai oktan hingga 3-4 tingkatan.
Bahan pembuat bioetanol ini sendiri dapat berasal dari produk-produk pertanian di antara lain adalah tetes tebu, singkong, jagung. Indonesia sebagai negara dengan modal sektor pertanian yang berlimpah sesungguhnya dapat menjadi salah satu negara yang dapat mengimplementasikan program bioetanol ini di pasar energi. Namun, jika menilik ke belakang, Indonesia sebenarnya pernah melakukan implementasi bioetanol di dalam negeri, namun program terhenti dari tahun 2014 hingga sekarang. Hal ini membuat para pemain industri dalam negeri seperti sudah kehilangan appetite untuk menumbuhkan industri bahan bakar berbasis etanol.
Peneliti senior dari ITB dan juga merupakan Ketua Pusat ITB Sustainable Development Goals (ITB SGDs Network) Tirto Prakoso berpendapat yang merupakan berpendapat bahwa keberhasilan beberapa negara, seperti Australia, Amerika Serikat, Thailand dan juga Filipina dalam penerapan bioetanol di negara mereka harus menjadi pembelajaran untuk Indonesia agar dapat memperkenalkan bioetanol di pasar domestik. Bioethanol bisa membantu agenda pemerintah dalam mengurangi emisi karbon di sektor transportasi.
"Terlebih lagi, saat ini komponen terbarukan dalam campuran bensin di Indonesia belum ada, ini adalah saat yang tepat untuk memperkenalkan bioetanol dalam produk bensin di Indonesia. Belum lagi Indonesia sebagai negara agraris yang memiliki potensi bahan baku ethanol cukup besar, ini harus dikembangkan dengan baik. Indonesia tidak boleh kalah dari Thailand dan Filipina dalam memperkenalkan bioetanol di pasar domestik," katanya.
"Ada juga manfaat jangka Panjang dari bioetanol yang dapat menciptakan lapangan pekerjaan di sektor pertanian, dan juga merangsang pertumbuhan industri pengolahan etanol domestik. Sehingga ke depannya Indonesia tidak tergantung oleh impor bahan bakar jadi dan impor minyak mentah. Selain tentu saja ada keuntungan lingkungan, di mana kita bisa mendapatkan udara yang lebih bersih, dan kualitas hidup yang lebih baik. Untuk itu, kita harus berani terlebih dahulu memperkenalkan bioetanol ke pasar domestik," sambungnya.