Operator Diminta Pindah Kabel Telpon ke Bawah Tanah, Bagaimana Aturannya?

Operator Diminta Pindah Kabel Telpon ke Bawah Tanah, Bagaimana Aturannya?

Tim detikcom - detikFinance
Rabu, 25 Agu 2021 18:21 WIB
Proyek SJUT di Jl Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. (Danu Damarjati/detikcom)
Foto: Proyek SJUT di Jl Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. (Danu Damarjati/detikcom)
Jakarta -

Acara gali-menggali di Jl Mampang Prapatan Jakarta Selatan sudah kelar. Seharusnya, setelah galian manhole itu rampung, kabel-kabel di atas tiang diturunkan dan diganti dengan kabel di lubang bawah tanah. Namun, pemindahan tak bisa dilakukan serta merta.

Bagaimana aturannya?

Pengajar Hukum Administrasi Negara dan Hukum Keuangan Negara Universitas Indonesia, Henry Darmawan Hutagaol, menilai pembangunan dan biaya yang dikenakan Pemprov DKI Jakarta terhadap Sarana Jaringan Utilitas Terpadu (SJUT) Jaringan Air, Listrik, Telekomunikasi Telepon/Internet memiliki beberapa isu hukum seperti ketidakpastian skema hukum pungutan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Isu hukum lainnya, tidak seragam regulasi di Pemda. Di beberapa daerah, ada Pemda yang menerapkan sewa untuk SJUT, ada yang mengenakan sewa untuk tanah untuk penggelaran kabel fiber optic, ada juga yang menganggap tiang fiber optic sebagai bangunan sehingga harus mengurus IMB agar dapat dikenakan retribusi dan sewa.

Isu hukum lainnya yang tak kalah mengganjal, siapa yang bertanggung jawab memungut sewa SJUT. Apakah yang memungut Pemda atau badan usaha yang ditunjuk Pemda.

ADVERTISEMENT

Merujuk UU 25/2009, tentang Pelayanan Publik disebutkan, Negara berkewajiban melayani setiap warga negara dan penduduk untuk memenuhi hak dan kebutuhan dasarnya dalam kerangka pelayanan publik yang merupakan amanat UUD 1945. Di pasal 5 dijelaskan, kebutuhan dasar tersebut; pendidikan, pengajaran, pekerjaan dan usaha, tempat tinggal, komunikasi dan informasi, lingkungan hidup, kesehatan, jaminan sosial, energi, perbankan, perhubungan, sumber daya alam, pariwisata, dan sektor strategis lainnya.

UU 36/1999 tentang Telekomunuikasi disebutkan, jaringan telkomunikasi dapat memanfaatkan/melintasi tanah negara, bangunan milik/dikuasai pemerintah. Pemanfaatan atau pelintasan tanah negara dan atau bangunan. Termasuk melintasi sungai, danau, atau laut, baik permukaan maupun dasar.

Serta menggunakan bahu jalan. Dalam pembangunan, pengoperasian dan atau pemeliharaan jaringan telekomunikasi tersebut dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan dari instansi pemerintah yang bertanggung jawab dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

"Namun ada Pemda yang menafsirkan perizinan ini dikaitkan dengan pembayaran kontribusi. Harusnya Pemda tidak boleh menafsirkan lain. Perizinan ya perizinan saja, jangan dikasih embel-embel lainnya,"papar Henry dalam diskusi publik bertajuk Keadilan Kabel Jakarta.

Di UU 28/2009 tentang Pajak Daerah Retribusi Daerah mengatur Pemda untuk memungut pajak dan retribusi. Retribusi yang dimaksud, pemakaian kekayaan daerah seperti penyewaan tanah dan bangunan, laboratorium, ruangan, dan kendaraan bermotor. Henry menjelaskan UU ini mengecualikan pengenaan retribusi termasuk sewa tanah selama kegiatan tersebut tidak mengubah fungsi dari tanah tersebut.

"Sangat jelas disebutkan di penjelasan aturan tersebut penggunaan tanah yang tidak mengubah fungsi dari tanah, antara lain, pemancangan tiang listrik/telepon atau penanaman/pembentangan kabel listrik/telepon di tepi jalan umum. Sehingga pemancangan tiang dan menanam kabel untuk listrik atau telekomunikasi tidak termasuk objek retribusi dan sewa. Pemda tidak berhak menarik retribusi dan sewa," terang Henry.

Bersambung ke halaman selanjutnya.

Henry menjelaskan, merujuk PP 52/2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi, penyelenggara telekomunikasi berhak atas ganti rugi sebagai akibat pemindahan atau perubahan jaringan telekomunikasi karena adanya kegiatan atau atas permintaan instansi/ departemen/ lembaga atau pihak lain.

"Berdasarkan PP 52/2000 tentang penyelenggaraan telekomunikasi pemindahan kabel udara di Jakarta harusnya operator telekomunikasi bisa mendapatkan kompensasi. Pemindahan kabel udara diminta Pemprov DKI. Mengacu Pasal 70 PP 52/2000 Pemprov DKI harus memberikan ganti rugi ke perusahaan telekomunikasi,"ungkapnya.

Sebagai turunan dari UU Cipta Kerja, PP 46/2021 tentang Pos Telekomunikasi Penyiaran juga memberikan kemudahan penggelaran jaringan telekomunikasi. Pasal 21 menyebutkan, dalam penyelenggaraan telekomunikasi, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dapat berperan menyediakan fasilitas untuk digunakan operator telekomunikasi secara bersama dengan biaya wajar berupa tanah, bangunan dan/atau infrastruktur pasif telekomunikasi.

"Harga yang wajar berbasis biaya bertujuan untuk menjamin kepastian berusaha. Sehingga jangan sampai pungutan membuat usaha tidak kompetitif atau justru malah membebankan masyarakat. Pun ada pungutan, itu hanya sekedar mengganti biaya pembangunan dan maintenance. Bukan mencari keuntungan. Sejatinya pembangunan SJUT untuk memberikan pelayanan ke masyarakat," ujar Henry.

"Biaya SJUT itu harusnya tidak masuk dalam target pendapatan daerah. Justru SJUT harus dijadikan pengeluaran untuk berikan pelayanan ke masyarakat. Jika dijadikan target pendapatan, maka akan membebani masyarakat. Jika SJUT gratis, harga barang dan jasa ke masyarakat jadi lebih murah,"pungkas Henry.

Selain itu, di pasal 26 PM 5/2021 turunan UU Cipta Kerja tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi menyebutkan, jika dalam suatu lokasi telah tersedia infrastruktur pasif milik penyelenggara telekomunikasi, penyelenggara telekomunikasi tetap dapat memanfaatkan infrastruktur pasif dimaksud sesuai dengan kebutuhan, ketersediaan kapasitas, dan kemampuan teknis infrastruktur pasif.

Sehingga tidak ada paksaan kepada penyelenggara telekomunikasi untuk pindah ke SJUT yang dibangun Pemda.


Hide Ads