Nilai tukar rupiah babak belur digebuk dolar Amerika Serikat (AS). Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo buka suara soal hal ini.
BI berkomitmen untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Maka dari itu, pihaknya akan menggunakan seluruh instrumen untuk mengurangi tekanan dolar AS terhadap rupiah.
"Bank Indonesia menggunakan seluruh instrumen yang ada secara bold, baik di pasar domestik melalui instrumen spot, DNDF, dan pembelian SBN di pasar sekunder, maupun di pasar luar negeri di Asia, Eropa, dan Amerika secara terus menerus, melalui intervensi NDF", kata Perry Warjiyo dalam keterangannya, Jumat (26/9/025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Biang Kerok Rupiah Keok Digebuk Dolar AS |
Perry yakin seluruh upaya yang dilakukan dapat menstabilkan nilai tukar rupiah, sesuai nilai fundamentalnya. BI juga mengajak seluruh pelaku pasar untuk turut bersama-sama menjaga iklim pasar keuangan yang kondusif, sehingga stabilitas nilai tukar rupiah dapat tercapai dengan baik.
Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS melemah pada perdagangan Kamis (25/9) kemarin. Tercatat nilai tukar dolar AS hampir menyentuh level Rp 16.800. Dikutip dari Bloomberg, dolar AS naik 53,0 poin atau 0,32% di level Rp 16.737.
Analis Komoditas dan Mata Uang Doo Financial Futures, Lukman Leong menilai rupiah sejak awal tahun sebetulnya cukup kuat karena didorong oleh intervensi dan tingkat suku bunga oleh BI. Namun, pemangkasan suku bunga oleh BI beberapa kali cukup mengagetkan investor.
Ditambah, pergantian Menteri Keuangan yang berujung pada kebijakan fiskal yang lebih longgar dan stimulus juga ikut menekan rupiah.
"Selain itu revisi UU P2SK juga membuat investor khawatir independensi BI dan mandat bank sentral yang tidak lagi hanya fokus pada inflasi dan nilai tukar. Usaha pemerintah meningkatkan pertumbuhan ekonomi dipandang bisa mengorbankan rupiah. Dampaknya bisa pada inflasi dan defisit anggaran yang meningkat," ujarnya kepada detikcom.
BI melakukan langkah intervensi untuk menstabilkan nilai tukar rupiah. Namun, hal ini dapat menggerus cadangan devisa. Menurutnya, pemerintah perlu mengkaji kembali kebijakan ekonomi-ekonomi, seperti menurunkan anggaran untuk program makan bergizi gratis yang dinilai terlalu besar.
Sementara itu, Pengamat Ekonomi, Mata Uang & Komoditas Ibrahim Assuaibi menilai secara internal, pasar dipengaruhi oleh pernyataan-pernyataan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang dinilai tidak pro pasar, seperti penolakan program tax amnesty.
"Dulu pada saat pemerintahan Jokowi di bawah Menteri Keuangan Sri Mulyani ada tiga kali melakukan tax amnesty dan itu disambut positif oleh pasar. Nah tetapi di zamannya Prabowo tax amnesty itu yang tadinya akan digulirkan tetapi dihentikan oleh Purbaya karena dianggap bahwa ada kong kali kong pengusaha dalam masalah tax amnesty. Nah ini rupanya pasar merespon negatif terhadap pernyataan-pernyataan Purbaya tentang penolakan dari tax amnesty," kata Ibrahim kepada detikcom.
Saksikan Live DetikPagi: