KPK Ungkap Maraknya Jual-Beli Jabatan: Yang Kena OTT Lagi Sial!

KPK Ungkap Maraknya Jual-Beli Jabatan: Yang Kena OTT Lagi Sial!

Anisa Indraini - detikFinance
Selasa, 14 Sep 2021 14:05 WIB
Pedagang menyaksikan proyeksi bertuliskan #mositidakpercaya saat aksi oleh aktivis Greenpeace di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (28/6/2021). Aksi tersebut menyuarakan keadilan bagi 51 pegawai KPK yang dinonaktifkan akibat dinyatakan tidak lulus Tes Wawasan Kebangsaan, juga menyampaikan pesan untuk menyelamatkan lembaga anti korupsi dari cengkraman oligarki. ANTARA FOTO/Galih Pradipta/foc.
Foto: ANTARA FOTO/GALIH PRADIPTA
Jakarta -

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap maraknya jual-beli jabatan. Hal ini seolah sudah biasa dilakukan oleh kepala daerah mulai untuk jabatan yang rendah sampai yang tinggi.

Deputi Bidang Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan mengatakan dari jual-beli jabatan itu ada kepala daerah yang bisa mendapat keuntungan hingga puluhan juta bahkan miliaran.

"Dari mulai guru aja ada lho yang dipungut, bukan untuk pindah saja tapi dipungut untuk nggak pindah juga. Naik lagi camat, kemarin kepala desa sementara cuma 6 bulan aja dia berani bayar Rp 20 juta. Naik lagi kepala dinas, naik lagi direktur BUMD, intinya jual beli jabatan kami percaya ini marak, yang kena itu sial aja," katanya dalam workshop bertajuk 'Deteksi & Pencegahan Korupsi' yang dilihat secara virtual, Selasa (14/9/2021).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

KPK menduga ada beberapa alasan maraknya jual-beli jabatan. Berikut ulasannya:

1. Mahalnya Biaya Pilkada

ADVERTISEMENT

Pahala menyebut biaya politik dalam Pilkada yang sangat mahal kemungkinan menjadi salah satu penyebab banyaknya kepala daerah terjerat korupsi.

"Begitu naik dia celingak-celinguk, sponsor semua harus dibayar, pengadaan udah, izin udah, nah ini kelanggengan jabatan ternyata lumayan, 'gimana kalau kita rotasi semua kepala dinas. Begitu rotasi Rp 1 miliar, Rp 1 miliar, ada 20 kepala dinas lumayan. Tahun ketiga gimana kalau kita mutasi'. Jadi itu perilaku sebagian kepala daerah karena Pilkada mahal. Salah satu sumber adalah jabatan untuk nutup," bebernya.

2. Rendahnya Remunerasi

Remunerasi atau gaji kepala daerah yang dianggap KPK masih rendah juga dinilai menjadi salah satu alasan maraknya kepala daerah mencari sumber pendapatan lain. Salah satunya dari jual-beli jabatan.

"Kepala daerah itu ekspektasi sosialnya sangat tinggi, dianggap orang yang benar-benar serba kecukupan. Tiba giliran kepala daerah yang benar-benar mau melayani daerahnya lebih dari 5 datang 'ini gimana sih pak PP tentang remunerasi kami. 'Saya cuma dapat Rp 6 juta Pak, plus representasi dari PAD (pendapatan asli daerah), kalau gede, kalau kecil (gimana)," ucapnya.

Untuk itu, Pahala mendorong agar pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian PAN-RB dan Kementerian Keuangan untuk meningkatkan gaji kepala daerah.

"Saya bilang ayo dong kita benerin, kita ngomong ke Menpan-RB (Tjahjo Kumolo) 'ini rasanya kepala daerah daya rusaknya tinggi, kalau kita kasih Rp 300 juta sebulan saya oke aja kok dibanding daya rusak yang dihasilkan itu lho dia mengeluarkan izin serampangan buat sumber daya alam, itu lebih banyak," bebernya.

Lihat juga Video: Kasus Jual Beli Jabatan Kades, KPK Geledah Kantor Bupati Probolinggo

[Gambas:Video 20detik]



3. APIP yang Lemah

KPK menilai Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) masih lemah dalam mengawasi kasus jual-beli jabatan. "Jual-beli jabatan ini kita bingung orangnya banyak, udah rahasia umum tapi nggak ngelapor juga," tandasnya.


Hide Ads