Banyak Pekerja Usia Produktif Ambil JHT, Kemnaker Siap Revisi Aturan

Banyak Pekerja Usia Produktif Ambil JHT, Kemnaker Siap Revisi Aturan

Yudistira Imandiar - detikFinance
Selasa, 05 Okt 2021 15:14 WIB
Kantor BP Jamsostek/ BPJS Ketenagakerjaan
Foto: BP Jamsostek
Jakarta -

Pandemi COVID-19 sempat menimbulkan gelombang PHK pada perusahaan-perusahaan di Indonesia. Situasi tersebut berdampak pada peningkatan jumlah klaim Jaminan Hari Tua (JHT) di BPJamsostek.

Banyaknya pekerja yang mencairkan JHT setelah terkena PHK menjadi sorotan pemerintah. Sebab, substansi JHT sejatinya adalah simpanan untuk masa tua para pekerja, yang dapat dicairkan setelah mencapai batas usia tertentu.

Terkait hal tersebut, Komisi IX DPR RI menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama dengan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), BPJS Ketenagakerjaan (BPJamsostek) dan perwakilan Serikat Pekerja/Buruh guna membahas terkait pengawasan klaim Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Pensiun (JP) dan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) terhadap pekerja atau buruh yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di masa pandemi COVID-19.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial (PHI & Jamsos) Kemnaker Indah Anggoro Putri menyampaikan pihaknya mendapati adanya pergeseran filosofi dari program JHT yang seharusnya dinikmati ketika memasuki hari tua atau masa pensiun, namun banyak pekerja yang justru mencairkan saldo JHT setelah PHK.

Hal tersebut, kata Indah, didasari Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2015 dan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 19 Tahun 2015 yang memungkinkan bagi para pekerja untuk melakukan klaim JHT satu bulan setelah mengalami PHK. Indah mengungkapkan saat ini Kemnaker tengah merevisi Permenaker tersebut untuk mengembalikan agar JHT dapat difungsikan sesuai tujuan awalnya.

ADVERTISEMENT

"Kami merevisi Permenaker nomor 19 tersebut, kita kembalikan kepada filosofi JHT yaitu benar-benar sebagai tabungan di masa tua sebagai amanat yang tertera dalam Undang-Undang nomor 40 tahun 2004 dan juga Peraturan Pemerintah (PP) nomor 46 tahun 2015," terang Indah.

Direktur Pelayanan BPJamsostek Roswita Nilakurnia menambahkan klaim JHT mengalami kenaikan jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Hingga Agustus 2021, tercatat 1,49 juta kasus JHT dengan penyebab klaim didominasi oleh pengunduran diri dan PHK. Selain itu mayoritas nominal saldo JHT yang diklaim adalah dibawah Rp 10 juta dan rentang umur peserta paling banyak di bawah 30 tahun yang merupakan usia produktif bekerja.

Sementara itu, Sekjen Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (K-SPSI) Hermanto Achmad menuturkan proses pencairan JHT yang sangat mudah membuat banyak pekerja yang menggunakan modus seolah-olah PHK untuk dapat melakukan klaim. Menurutnya hal ini cenderung tidak sesuai dengan filosofi jaminan sosial yang sejak awal menjadi harapan bagi seluruh pekerja Indonesia untuk memiliki hari tua yang terjamin.

Dalam kesempatan yang sama Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Elly Rosita Silaban menambahkan agar mekanisme pencairan JHT dikembalikan ke konsep UU nomor 24 tahun 2011 seperti praktik yang berlaku internasional berupa old saving.

"Dana yang disimpan di BPJS Ketenagakerjaan itu sebenarnya adalah dana ketahanan untuk pembangunan ekonomi. Ketika Jaminan Hari Tua diubah maknanya menjadi jaminan hari terjepit karena bisa diambil setelah dipecat, memang menjadi hilang filosofinya. Apakah dikembalikan (aturannya) ke undang-undang sebelumnya, itu mungkin juga masih perlu diskusi untuk lebih lanjut," papar Elly.

Elly juga menitikberatkan pada manfaat program Jaminan Pensiun (JP) yang masih sangat kecil yaitu Rp 300 ribu hingga Rp3,6 juta per bulan. Dirinya pun menyayangkan sejak program tersebut dijalankan sejak tahun 2015 hingga saat ini, belum dilakukan peninjauan kembali terkait besaran iurannya. Ia berharap peninjauan dapat dilakukan setiap 3 tahun sekali sesuai ketentuan agar manfaat yang diterima peserta maksimal.




(ega/hns)

Hide Ads