Butuh Rp 700 T buat Tambal Defisit, Kenaikan PPN Salah Sasaran Bu Sri Mulyani

Butuh Rp 700 T buat Tambal Defisit, Kenaikan PPN Salah Sasaran Bu Sri Mulyani

Trio Hamdani - detikFinance
Rabu, 06 Okt 2021 15:12 WIB
Poster
Foto: Edi Wahyono
Jakarta -

Institute for Development of Economics and Finance (Indef) memperkirakan pemerintah membutuhkan pemasukan sekitar Rp 600-700 triliun, untuk menekan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kembali ke 3% dari PDB pada 2023.

Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad menilai hal itu yang mendasari pemerintah ingin menggolkan Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP) dalam waktu dekat.

"Target defisit 3% pada tahun 2023 itu kurang lebih mungkin sekitar kita membutuhkan Rp 600-700 triliun pada 2023, maka tanpa ada kenaikan sumber penerimaan negara khususnya pajak itu sangat sulit target defisit tersebut dicapai," katanya dalam webinar, Rabu (6/10/2021).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun, pihaknya tidak begitu yakin kenaikan PPN bisa menekan defisit APBN. Hal itu didasari dua hal. Pertama, perbaikan defisit APBN akan sangat tergantung bagaimana sektor-sektor di penerimaan negara, khususnya perpajakan seperti industri manufaktur dan perdagangan bisa cepat pulih.

Kemudian yang kedua adalah dari sisi pengeluaran, terutama konsumsi masih relatif rendah dibandingkan pertumbuhan belanja/investasi pemerintah, ekspor-impor sehingga sumber PPN yang basisnya konsumsi jauh lebih lambat dibandingkan perkiraan semula.

ADVERTISEMENT

Selanjutnya, ambang batas (threshold) pengusaha kena pajak (PKP) dinilai terlalu tinggi. Hal itu yang menyebabkan penerima pajak tidak optimal. Dalam hal ini, ambang batas PKP yang berlaku sekarang adalah Rp 4,8 miliar. Perusahaan yang omzetnya Rp 4,8 miliar per tahun dikenakan tarif final 0,5%. Sedangkan yang di atas PKP dikenakan tarif 10%.

Kebijakan tersebut menurut Tauhid dijadikan celah oleh pengusaha yang omzetnya di atas Rp 4,8 miliar, diupayakan sedemikian rupa agar omzetnya berada di dalam ambang batas.

"Nah ini yang seringkali disebut loophole kebijakan karena pengusaha besar bisa saja mengubah identitas perusahaan dan sebagainya, atau laporannya bisa memiliki banyak usaha yang sebenarnya punya keterkaitan antara satu usaha dengan lainnya dalam rangka menghindari perpajakan dengan melihat batas threshold sebesar Rp 4,8 miliar," tuturnya.

"Jadi ini menarik apakah memang dengan kenaikan tarif (pajak) justru meningkatkan produktivitas dari PPN? ternyata juga tidak menentukan," sambung Tauhid.

Jadi, pihaknya menilai dalam rangka pemulihan ekonomi tidak perlu kenaikan tarif PPN. Sebab, masalahnya bukan soal tarif tapi soal basis data. Selain itu perlu dikaji kembali penurunan ambang batas PKP karena ada celah bagi perusahaan memanfaatkan pajak final 0,5%.

Jika melihat basis pajaknya sendiri, sektor industri, perdagangan, dan jasa cukup tinggi. Di sisi lain menurut Indef ada sektor yang kontribusi PDB-nya tinggi tapi sumbangan pajaknya rendah, khususnya di sektor konstruksi. Menurut Tauhid itu perlu ditingkatkan terutama untuk basis pajak.

"Saya kira kalau dari segi data yang lapor PPN itu jauh lebih rendah dibandingkan populasi atau konsumsi. Artinya konsumsi kita tinggi, 58% PDB, tapi pelaporan PPN melalui dunia usaha yang mungkin relatif lebih kecil. Nah ini ada loophole dari sisi ini yang saya kira penting," lanjutnya.

Terakhir dia menilai digitalisasi PPN menjadi agenda utama untuk peningkatan produktivitas PPN. Dia berpendapat produktivitas PPN di Indonesia dibandingkan negara tetangga memang tidak buruk, tapi masih lebih rendah dibandingkan Thailand dan Vietnam.


Hide Ads