Menurut keterangannya, nantinya perubahan tarif PPN cukup dipayungi dengan peraturan pemerintah (PP) setelah disampaikan oleh pemerintah kepada DPR untuk dibahas dalam penyusunan RAPBN.
"Ini kan cukup mengkhawatirkan dalam bentuk PP. PP tidak cukup untuk membahas kenaikan tarif PPN karena ada ruang publik yang harus dibuka dan sebagainya, tidak cukup pemerintah, tapi perlu didengarkan melalui forum parlementer," ujarnya.
Dia juga menyebut kenaikan PPN 11% tahun depan kontraproduktif terhadap upaya pemulihan ekonomi karena kebijakan itu justru bisa menjadi penghambat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Banyak usaha yang saat ini baru mulai melakukan upaya untuk mendapatkan akses pinjaman dan sebagainya tapi sudah dihantui nanti kenaikan perpajakan menjadi 11%. Ini memang akan ditransmisikan ke konsumen yang akan dibebankan, tapi saya kira memang pada akhirnya dikhawatirkan ini akan menurunkan omzet pelaku usaha," terang Tauhid.
Lalu, ketika PPN dinaikkan menjadi 12% paling lambat 1 Januari 2025, berdasarkan perhitungan Indef akan menyebabkan produk domestik bruto (PDB) Indonesia turun, upah riil turun, hingga ekspor turun.
Pemerintahan baru di 2024 nanti pun, lanjut dia akan dibebankan warisan kenaikan PPN. Sebagaimana bunyi salah satu pasal di RUU HPP, kenaikan PPN 12% paling lambat berlaku 2025.
"Pemerintahan baru yang akan datang itu akan mempunyai beban, baru mulai memerintah harus melakukan kenaikan PPN sebesar 12%, menjadi berat di saat baru selesai pilpres tapi sudah harus melakukan kenaikan pajak. Ini yang saya kira memang kalau ini dilakukan di akhir 2024, tahun 2025 ini saya kira cukup berat bagi siapapun pemerintahan baru ketika dipaksa menaikkan tarif PPN sebesar 12%," tambah Tauhid.
(toy/fdl)