Pengamat dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mengkhawatirkan beberapa hal terkait kebijakan baru mengenai PPN yang diakomodir di dalam Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP).
Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad menyebut ada bagian yang berpotensi menjadi pasal karet, di mana dalam Bab IV pasal 7 ayat (3) disebutkan bahwa PPN dapat diubah menjadi paling rendah 5% dan paling tinggi 15%.
"Sekarang tetap single tariff, paling rendah 5% dan paling tinggi 15%. Artinya bahwa bersifat single tarif dan dapat berubah sewaktu-waktu. Nah ini saya kira menjadi uncertainty-nya (ketidakpercayaan) tinggi, menimbulkan ketidakpastian bagi konsumen karena dengan pasal ini tentu saja menjadi sesuatu yang tidak pasti," katanya dalam webinar, Rabu (6/10/2021).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di sisi lain, pasal 7 ayat (1)a menjelaskan bahwa kenaikan PPN menjadi 11% akan diberlakukan mulai 1 April 2022. Kemudian pada 2025 tepatnya 1 Januari, di pasal 7 ayat (1)b tertulis bahwa PPN akan menjadi sebesar 12%.
"Misalnya (PPN) tahun depan naik, dengan pasal ini diputuskan dengan pembicaraan sebelum APBN ini maka bisa saja naik menjadi 12%, 13% dan paling tinggi 15%. Jadi kalau kita mengenai pasal ini, ini pasal karet yang cukup berbahaya bagi siapapun," tuturnya.
Lanjut Tauhid, dalam RUU tersebut memang memungkinkan PPN turun ke 5%. Namun, melihat pengalaman negara-negara lain, khusus negara maju tidak ada ceritanya tarif PPN turun.
"Jadi kalau kita lihat pengalaman di data OECD umumnya (tarif PPN) itu meningkat. Memang ada batas rendah, tapi batas maksimalnya itu menjadi lebih tinggi dibandingkan tahun-tahun berikutnya. Saya kira ini akan menjadi satu hal yang dikhawatirkan apabila pasal ini tetap diberlakukan," terangnya.
Dia juga berpendapat tarif PPN 5% sampai 15% bisa diubah pemerintah tanpa 'ruang publik' atau dengan kata lain tidak terbuka.
"Dengan disahkannya RUU ini otomatis tidak ada ruang publik lagi ketika suatu saat (tarif PPN) meningkat. Jadi dengan sahnya (RUU HPP) ini, otomatis pasal ini sah dan tidak ada ruang bagi publik untuk dibahas lebih luas karena ini undang-undang ini sudah mengikat, dan tidak perlu ada undang-undang baru. Ini yang saya kira menjadi titik kritis," lanjut Tauhid.