Ada Pasal Karet di Kebijakan Baru PPN?

Ada Pasal Karet di Kebijakan Baru PPN?

Trio Hamdani - detikFinance
Rabu, 06 Okt 2021 16:11 WIB
Ilustrasi pajak
Ada Pasal Karet di Kebijakan Baru PPN?
Jakarta -

Pengamat dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mengkhawatirkan beberapa hal terkait kebijakan baru mengenai PPN yang diakomodir di dalam Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP).

Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad menyebut ada bagian yang berpotensi menjadi pasal karet, di mana dalam Bab IV pasal 7 ayat (3) disebutkan bahwa PPN dapat diubah menjadi paling rendah 5% dan paling tinggi 15%.

"Sekarang tetap single tariff, paling rendah 5% dan paling tinggi 15%. Artinya bahwa bersifat single tarif dan dapat berubah sewaktu-waktu. Nah ini saya kira menjadi uncertainty-nya (ketidakpercayaan) tinggi, menimbulkan ketidakpastian bagi konsumen karena dengan pasal ini tentu saja menjadi sesuatu yang tidak pasti," katanya dalam webinar, Rabu (6/10/2021).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di sisi lain, pasal 7 ayat (1)a menjelaskan bahwa kenaikan PPN menjadi 11% akan diberlakukan mulai 1 April 2022. Kemudian pada 2025 tepatnya 1 Januari, di pasal 7 ayat (1)b tertulis bahwa PPN akan menjadi sebesar 12%.

"Misalnya (PPN) tahun depan naik, dengan pasal ini diputuskan dengan pembicaraan sebelum APBN ini maka bisa saja naik menjadi 12%, 13% dan paling tinggi 15%. Jadi kalau kita mengenai pasal ini, ini pasal karet yang cukup berbahaya bagi siapapun," tuturnya.

ADVERTISEMENT

Lanjut Tauhid, dalam RUU tersebut memang memungkinkan PPN turun ke 5%. Namun, melihat pengalaman negara-negara lain, khusus negara maju tidak ada ceritanya tarif PPN turun.

"Jadi kalau kita lihat pengalaman di data OECD umumnya (tarif PPN) itu meningkat. Memang ada batas rendah, tapi batas maksimalnya itu menjadi lebih tinggi dibandingkan tahun-tahun berikutnya. Saya kira ini akan menjadi satu hal yang dikhawatirkan apabila pasal ini tetap diberlakukan," terangnya.

Dia juga berpendapat tarif PPN 5% sampai 15% bisa diubah pemerintah tanpa 'ruang publik' atau dengan kata lain tidak terbuka.

"Dengan disahkannya RUU ini otomatis tidak ada ruang publik lagi ketika suatu saat (tarif PPN) meningkat. Jadi dengan sahnya (RUU HPP) ini, otomatis pasal ini sah dan tidak ada ruang bagi publik untuk dibahas lebih luas karena ini undang-undang ini sudah mengikat, dan tidak perlu ada undang-undang baru. Ini yang saya kira menjadi titik kritis," lanjut Tauhid.

Menurut keterangannya, nantinya perubahan tarif PPN cukup dipayungi dengan peraturan pemerintah (PP) setelah disampaikan oleh pemerintah kepada DPR untuk dibahas dalam penyusunan RAPBN.

"Ini kan cukup mengkhawatirkan dalam bentuk PP. PP tidak cukup untuk membahas kenaikan tarif PPN karena ada ruang publik yang harus dibuka dan sebagainya, tidak cukup pemerintah, tapi perlu didengarkan melalui forum parlementer," ujarnya.

Dia juga menyebut kenaikan PPN 11% tahun depan kontraproduktif terhadap upaya pemulihan ekonomi karena kebijakan itu justru bisa menjadi penghambat.

"Banyak usaha yang saat ini baru mulai melakukan upaya untuk mendapatkan akses pinjaman dan sebagainya tapi sudah dihantui nanti kenaikan perpajakan menjadi 11%. Ini memang akan ditransmisikan ke konsumen yang akan dibebankan, tapi saya kira memang pada akhirnya dikhawatirkan ini akan menurunkan omzet pelaku usaha," terang Tauhid.

Lalu, ketika PPN dinaikkan menjadi 12% paling lambat 1 Januari 2025, berdasarkan perhitungan Indef akan menyebabkan produk domestik bruto (PDB) Indonesia turun, upah riil turun, hingga ekspor turun.

Pemerintahan baru di 2024 nanti pun, lanjut dia akan dibebankan warisan kenaikan PPN. Sebagaimana bunyi salah satu pasal di RUU HPP, kenaikan PPN 12% paling lambat berlaku 2025.

"Pemerintahan baru yang akan datang itu akan mempunyai beban, baru mulai memerintah harus melakukan kenaikan PPN sebesar 12%, menjadi berat di saat baru selesai pilpres tapi sudah harus melakukan kenaikan pajak. Ini yang saya kira memang kalau ini dilakukan di akhir 2024, tahun 2025 ini saya kira cukup berat bagi siapapun pemerintahan baru ketika dipaksa menaikkan tarif PPN sebesar 12%," tambah Tauhid.


Hide Ads