Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut ada ancaman besar yang akan dihadapi Indonesia ke depan. Bukan pandemi COVID-19, melainkan perubahan iklim (climate change).
Butuh dana yang sangat besar untuk Indonesia menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) yang berbahaya bagi lingkungan. Biaya itu untuk mengurangi emisi karbon menjadi 29% secara mandiri dan 41% dengan bantuan negara lain di 2030 sesuai Paris Agreement dalam Nationally Determined Contributions (NDCs).
Sri Mulyani mengatakan anggaran yang dibutuhkan Indonesia untuk atasi perubahan iklim sebesar US$ 365 miliar atau setara Rp 5.131 triliun (kurs Rp 14.060) untuk pengurangan emisi karbon sebesar 39%. Sedangkan untuk pengurangan emisi karbon hingga 41%, butuh US$ 479 miliar atau Rp 6.734 triliun.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami menghitung besaran biaya untuk menurunkan emisi karbon (CO2) sesuai (NDC) Paris Agreement, misalnya untuk menurunkan 29%, membutuhkan pembiayaan hingga US$ 365 miliar untuk merealisasi janji itu," kata Sri Mulyani dalam CNBC's Sustainable Future Forum, Selasa (19/10/2021).
Sri Mulyani menyebut dana sebesar itu tidak dapat dipenuhi hanya dengan APBN. Pihaknya menaruh harapan lebih pada private sector untuk membiayai komitmen penurunan emisi gas rumah kaca.
Sayangnya untuk menggaet pendanaan dari private sector bukanlah hal mudah. Dia bersama koalisi Menteri Keuangan dunia masih mencari cara yang tepat bagaimana menghubungkan sektor-sektor privat domestik dengan sektor privat secara global.
"Private sectors menjadi sangat kritikal. Maka forum koalisi Menteri Keuangan negara G20 menjadi sangat penting untuk mendiskusikan bagaimana kami mendanai dan mengkatalisasi private sector secara global," ucap Sri Mulyani.
Berlanjut ke halaman berikutnya.
Simak Video "Ketar-ketir Ilmuwan Lihat Laporan Terbaru soal Perubahan Iklim"
[Gambas:Video 20detik]