Pemerintah Indonesia menetapkan ekonomi hijau sebagai salah satu strategi jangka menengah dan panjang transformasi ekonomi dalam menghadapi isu perubahan iklim. Pada sisi lain, Indonesia juga menargetkan net-zero emissions pada tahun 2060.
"Untuk itu, Pemerintah telah menetapkan ekonomi hijau sebagai salah satu strategi utama transformasi ekonomi dalam jangka menengah panjang," ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam keterangannya, Selasa (19/10/2021).
"Strategi ini juga akan membantu Indonesia dalam mewujudkan target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau SDGs. Terobosan-terobosan baru sangat diperlukan untuk bisa melakukan lompatan dalam mencapai target SDGs ini, terutama dalam masa pandemi," imbuhnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam acara INDY Fest 2021 bertema 'Net-Zero Emissions', Airlangga mengatakan Pemerintah juga telah menetapkan arah kebijakan melalui Pembangunan Rendah Karbon. Hal ini dilakukan melalui penurunan dan intensitas emisi pada bidang prioritas meliputi energi, lahan, limbah, industri, dan kelautan.
Melalui Nationally Determined Contributions (NDC), Indonesia berkomitmen menurunkan emisi GRK sebesar 29% dengan kemampuan sendiri atau 41% dengan bantuan internasional pada 2030 dari kondisi business as usual. Penurunan emisi GRK tersebut terutama akan didorong pada sektor Agriculture, Forest, and Land Use (AFOLU) serta energi.
Penerapan Pembangunan Rendah Karbon juga diharapkan dapat terus menekan emisi hingga 34%-41% di 2045 melalui pengembangan EBT, perlindungan hutan dan lahan gambut, peningkatan produktivitas lahan, dan penanganan limbah terpadu.
"Net-zero emissions adalah target yang ingin digapai Pemerintah di 2060 mendatang dan kami juga telah mencantumkannya dalam penyampaian dokumen Long-term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience 2050 (LTS-LCCR 2050) kepada United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC)," tutur Airlangga.
Diungkapkannya, penguatan komitmen Indonesia untuk mencapai berbagai target tersebut menjadi sangat krusial menjelang pelaksanaan COP26 di Glasgow Skotlandia. Di sini, peran pembiayaan hijau menjadi sangat krusial.
Pemerintah telah mendorong pengembangan berbagai instrumen pembiayaan hijau, di antaranya melalui Green Sukuk. Green Sukuk edisi 2020 mencapai US$ 2,5 miliar, sementara permintaan yang diperoleh sebesar 6,7 kali lipatnya atau jauh di atas target pemerintah di tengah kondisi pasar yang volatile ini.
"Beberapa pemanfaatan refinancing Green Sukuk yang telah dilakukan adalah dengan pengembangan dan pembangunan fasilitas dan infrastruktur energi terbarukan seperti pembangkit listrik tenaga surya, mikrohidro dan minihidro. Dengan pembangunan proyek-proyek ini nantinya dapat dihitung berapa besar pengurangan emisi CO2e yang dapat dicapai," ungkap Airlangga.
Klik halaman selanjutnya >>>