Jakarta -
Selebgram Rachel Vennya menjadi perbincangan publik karena tidak menjalani karantina di Wisma Atlet sepulang dari luar negeri. Belum selesai sampai di situ, publik kembali dibuat terkejut setelah daftar harga (rate card) endorse yang mengatasnamakan Rachel Vennya beredar di media sosial.
Berdasarkan tangkapan layar yang beredar di Twitter, tarif endorse Rachel Vennya berupa konten IG photo (feed) mencapai Rp 45 juta/postingan, IG multiple (tambahan) Rp 10 juta/foto, dan IG video (feed) Rp 80 juta/postingan, IGTV Rp 100 juta/postingan.
Selanjutnya IG Live Rp 65 juta/jam, IG story Rp 12 juta/story dan tambahan Rp 7,5 juta/story, dan IG reels Rp 80 juta/postingan. Kemudian tarif endorse di TikTok Rp 60 juta/postingan, dan Youtube Rp 150 juta.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun diumbarnya rate card Rachel Vennya menuai pro dan kontra. Ada netizen yang menyayangkan hal semacam itu disebar ke publik karena menganggap itu sebagai 'rahasia dapur' orang. Adapula netizen yang menganggap rate card sama seperti daftar harga menu di restoran.
Namun belum dapat dipastikan kebenaran rate card yang beredar tersebut. Terlepas dari itu, jasa endorse telah menjadi ladang uang yang menguntungkan bagi para selebgram atau influencer.
Pakar marketing pun membeberkan faktor yang membuat tarif endorse bisa mencapai seratus jutaan rupiah. Berlanjut ke halaman berikutnya.
Simak video 'Apakah Rachel Vennya Akan Jawab Panggilan Polda?':
[Gambas:Video 20detik]
Pakar Marketing Yuswohady menyebut ada sejumlah faktor yang mempengaruhi tarif endorse bisa begitu mahal. Pertama adalah banyaknya audiens yang bisa dijangkau oleh si selebgram atau influencer.
"Kalau banyak kan (audiensnya) otomatis kita akan dilihat oleh banyak orang. Itu namanya awareness, artinya kita dikenal orang," katanya kepada detikcom, Rabu (20/10/2021).
Tetapi hal di atas bukan satu-satunya faktor penentu. Faktor lainnya adalah kecocokan karakter selebgram dengan produk yang akan di-endorse. Itu adalah sesuatu yang akan mempengaruhi kesan yang dilihat orang dari brand yang di-endorse.
"Kemudian ada credibility (kredibilitas), ada trustworthy (kepercayaan)," lanjutnya.
Lalu ada loyalitas. Yuswohady menyebut laku atau tidaknya barang yang di-endorse oleh selebgram sangat tergantung pada loyalitas para pengikutnya. Apa yang dipromosikan oleh selebgram akan dibeli oleh pengikutnya jika mereka benar-benar loyal.
"Kalau si artisnya itu atau selebgramnya itu suka apa, dia (pengikutnya) akan suka apa. Jadi kayak mirroring, si selebgram itu jadi panutan. Itu bagus untuk call to action untuk beli," katanya.
Dia menjelaskan semakin tinggi loyalitas followers maka semakin besar peluang barang yang di-endorse oleh selebgram dibeli oleh followers-nya. Dia mencontohkan fenomena boyband asal Korea Selatan (Korsel) BTS. Mereka punya basis penggemar yang sangat loyal.
Ketika BTS meng-endorse produk McDonald's (McD) maka para fans-nya berbondong-bondong membeli produk McD edisi boyband tersebut. Hal yang sama bisa berlaku terhadap selebgram atau influencer di media sosial.
"Followers itu menjadikan anggota BTS itu sebagai role model, artinya dia itu makan McD maka followers-nya ikutan makan McD gitu. Kalau sudah sampai ke situ selebgram itu menjadi sangat powerfull untuk dijadikan sebagai endorser," paparnya.
Lantas setelah Rachel Vennya tersandung kasus apakah masih diperhitungkan sebagai endorser? Baca di halaman selanjutnya.
Yuswohady menjelaskan kesan yang dimunculkan oleh endorser akan menular kepada produk yang dia promosikan. Dalam hal Rachel Vennya, ketika publik memandangnya negatif maka barang yang dia endorse bisa saja mendapatkan kesan negatif pula.
"Kalau kaya Rachel Vennya ini karena lagi kasus dan kasusnya itu kan nggak bagus, ya menurut saya sih brand mestinya menghindari karena image-nya (Rachel Vennya) nggak bagus kan, (brand yang di-endorse) jadi ikut-ikutan nggak bagus," jelasnya.
Lanjut dia, jadi ketika seorang endorser mendapatkan citra negatif yang terancam bukan hanya reputasinya tapi juga brand yang dia endorse.
"Kalau artis kan jatuh ya jatuh saja gitu nanti terus nggak beken lagi atau justru dengan banyak kontroversi malah tambah beken. Tapi kalau brand kan nggak begitu, brand itu kan bukan untuk kontroversial, tapi (brand) itu dibangun agar image-nya bagus," lanjut Yuswohady.
Sebelum Rachel Vennya ketahuan tidak melaksanakan karantina, dan kesan publik terhadap dirinya masih baik-baik saja mungkin loyalitas follower-nya masih cukup tinggi. Tapi kini bagi brand yang ingin di-endorse olehnya justru berisiko.
Jadi, loyalitas followers bisa dilihat dari kesan yang dimunculkan oleh si selebgram. Umumnya para influencer ini bisa meraih loyalitas karena memiliki kesan positif. Jika tersandung isu negatif, loyalitas pengikut bisa luntur.
"Biasanya (influencer) yang jadi panutan itu bukan yang kontroversial," tambahnya.