Sri Mulyani dan 3 Krisis Ekonomi: Sama-sama Bebani Keuangan Negara

Sri Mulyani dan 3 Krisis Ekonomi: Sama-sama Bebani Keuangan Negara

Herdi Alif Al Hikam - detikFinance
Minggu, 24 Okt 2021 16:09 WIB
krisis ekonomi
Foto: Getty Images/Maria Stavreva
Jakarta -

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bercerita pengalamannya melewati 3 krisis ekonomi. Mulai dari krisis ekonomi 1997-1998, krisis ekonomi 2008, dan krisis ekonomi imbas dari pandemi COVID-19 yang terjadi sekarang.

Dari 3 krisis yang sudah dilaluinya, menurut Sri Mulyani ada satu persamaan besar dari ketiganya. Dia bilang ketiga krisis ini pada ujungnya adalah membebani keuangan negara.

"Penyebabnya memang beda, namun ujungnya sama-sama keuangan negara mendapat beban. Semua krisis sama sama bebani keuangan negara," kata Sri Mulyani dalam webinar Kontan, Minggu (24/10/2021).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Krisis yang pertama di tahun 1997-1998, menurutnya dipicu oleh perubahan neraca pembayaran. Kala itu perubahan cara perhitungan nilai tukar mata uang asing menimbulkan efek domino ke perekonomian nasional.

Khususnya terjadi pada sektor usaha dan sektor perbankan. Pinjaman-pinjaman dengan mata uang asing mengalami pembengkakan karena perubahan cara hitung nilai tukar, yang awalnya tetap menjadi mengikuti pasar.

ADVERTISEMENT

"Domino effect-nya adalah kalau ada perusahaan atau perbankan yang meminjam ke luar negeri, begitu nilai tukar terkoreksi dari awal Rp 2.500 jadi Rp 5.000, terus Rp 7.500, sampai ke Rp 17.000 bahkan saat transisisi ke pak Habibie itu, utangnya jadi berlipat," papar Sri Mulyani.

"Kalau utang berlipat ganda, tapi nilai tukar berubah, maka penerimaan yang bentuknya rupiah jadi tidak mampu membayar kembali," lanjutnya.

Utang berlipat, fenomena kebangkrutan pun terjadi. Hal ini pun menjadi gawat, karena sektor perbankan ikut menjadi pihak yang paling banyak mengalami kebangkrutan.

"Kalau sudah perbankan bankrupt juga itu terjadi sistemic crisis karena sistem keuangan terkena secara langsung," kata Sri Mulyani.

Bersambung ke halaman selanjutnya.

Dari kondisi ini lah keuangan negara harus menopang krisis yang terjadi. Negara, cerita Sri Mulyani, mulai menggelontorkan dana bail out atau bantuan kepada sektor perbankan dan sektor korporasi untuk menghadapi krisis.

"Akhirnya, kenanya ke keuangan negara, karena mem-bail out seluruh sistem keuangan dan melakukan counter cyclical sektor riil yang alami krisis luar biasa," papar Sri Mulyani.

Kekacauan besar timbul saat krisis, badai PHK terjadi, tingkat inflasi meroket, hingga kemiskinan melonjak. Puncaknya, Indonesia melakukan reformasi saat Presiden Soeharto mengundurkan diri.

Reformasi, menurut Sri Mulyani, menjadi buah dari krisis. Di sektor perekonomian, reformasi besar-besaran juga dilakukan. Muncul lah UU Keuangan Negara yang membuat negara mengadopsi prinsip pengelolaan yang sama dengan dunia internasional. Beragam regulasi lain juga muncul, mulai dari regulasi perbankan, hingga regulasi kompetisi usaha.

Krisis yang kedua di 2008 juga sama-sama berujung menambah beban pada keuangan negara menurut Sri Mulyani. Krisis yang kali ini terjadi karena runtuhnya industri keuangan Amerika Serikat yang menular ke sistem keuangan dunia hingga perbankan, termasuk di Indonesia.

Di Indonesia krisis ini mempengaruhi lembaga keuangan, khususnya perbankan yang mengalami krisis likuidasi. Untuk menjamin simpanan di perbankan pemerintah akhirnya turun tangan.

Caranya dengan meningkatkan jumlah jaminan simpanan di LPS. Hal ini bisa menjadi beban keuangan juga untuk pemerintah.

"Di krisis kedua kita ada LPS, stockgate-nya. Maka Keuangan negara kena di LPS dulu, kalau modalnya drop di bawah yang dimiliki maka pemerintah akan injeksi, karena dia stabilize insurance-nya. Maka LPS jumlah tabungan yang di-cover dinaikkan untuk mekanisme mengcover deposan yang sangat banyak," ungkap Sri Mulyani.

Kesamaan bukan terjadi pada beban keuangan saja, di krisis yang kedua menjadi ajang pemerintah melakukan reformasi lanjutan di sektor keuangan. Fungsi pengawasan sektor keuangan dipisah dari Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pun dibentuk.

Berlanjut ke krisis yang saat ini terjadi, krisis kali ini terjadi karena adanya penyakit menular COVID-19 yang mengancam semua orang. Hal ini mendorong kegiatan sosial dan ekonomi lumpuh, roda-roda ekonomi akhirnya mandek tidak bergerak.

Dia memaparkan akibat adanya pembatasan sosial karena COVID-19 banyak orang kehilangan pendapatan, pekerjaan menghilang karena sektor usaha tak mendapatkan konsumen imbas pembatasan sosial. Sektor perbankan pun kena imbasnya, karena pembayaran utang pun mandek.

Akhirnya keuangan negara pun terbebani untuk menjaga ekonomi masyarakat, mulai dari memberikan bantuan sosial, bantuan restrukturisasi kredit ke dunia usaha, jaminan pinjaman, hingga intensif bagi dunia usaha.

"Semuanya langsung kena, neraca rumah tangga, perusahaan, perbankan. Kena semua. Lagi lagi ujungnya keuangan negara, negara hadir bantu neraca yang jatuh tadi," papar Sri Mulyani.


Hide Ads