Dari kondisi ini lah keuangan negara harus menopang krisis yang terjadi. Negara, cerita Sri Mulyani, mulai menggelontorkan dana bail out atau bantuan kepada sektor perbankan dan sektor korporasi untuk menghadapi krisis.
"Akhirnya, kenanya ke keuangan negara, karena mem-bail out seluruh sistem keuangan dan melakukan counter cyclical sektor riil yang alami krisis luar biasa," papar Sri Mulyani.
Kekacauan besar timbul saat krisis, badai PHK terjadi, tingkat inflasi meroket, hingga kemiskinan melonjak. Puncaknya, Indonesia melakukan reformasi saat Presiden Soeharto mengundurkan diri.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Reformasi, menurut Sri Mulyani, menjadi buah dari krisis. Di sektor perekonomian, reformasi besar-besaran juga dilakukan. Muncul lah UU Keuangan Negara yang membuat negara mengadopsi prinsip pengelolaan yang sama dengan dunia internasional. Beragam regulasi lain juga muncul, mulai dari regulasi perbankan, hingga regulasi kompetisi usaha.
Krisis yang kedua di 2008 juga sama-sama berujung menambah beban pada keuangan negara menurut Sri Mulyani. Krisis yang kali ini terjadi karena runtuhnya industri keuangan Amerika Serikat yang menular ke sistem keuangan dunia hingga perbankan, termasuk di Indonesia.
Di Indonesia krisis ini mempengaruhi lembaga keuangan, khususnya perbankan yang mengalami krisis likuidasi. Untuk menjamin simpanan di perbankan pemerintah akhirnya turun tangan.
Caranya dengan meningkatkan jumlah jaminan simpanan di LPS. Hal ini bisa menjadi beban keuangan juga untuk pemerintah.
"Di krisis kedua kita ada LPS, stockgate-nya. Maka Keuangan negara kena di LPS dulu, kalau modalnya drop di bawah yang dimiliki maka pemerintah akan injeksi, karena dia stabilize insurance-nya. Maka LPS jumlah tabungan yang di-cover dinaikkan untuk mekanisme mengcover deposan yang sangat banyak," ungkap Sri Mulyani.
Kesamaan bukan terjadi pada beban keuangan saja, di krisis yang kedua menjadi ajang pemerintah melakukan reformasi lanjutan di sektor keuangan. Fungsi pengawasan sektor keuangan dipisah dari Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pun dibentuk.
Berlanjut ke krisis yang saat ini terjadi, krisis kali ini terjadi karena adanya penyakit menular COVID-19 yang mengancam semua orang. Hal ini mendorong kegiatan sosial dan ekonomi lumpuh, roda-roda ekonomi akhirnya mandek tidak bergerak.
Dia memaparkan akibat adanya pembatasan sosial karena COVID-19 banyak orang kehilangan pendapatan, pekerjaan menghilang karena sektor usaha tak mendapatkan konsumen imbas pembatasan sosial. Sektor perbankan pun kena imbasnya, karena pembayaran utang pun mandek.
Akhirnya keuangan negara pun terbebani untuk menjaga ekonomi masyarakat, mulai dari memberikan bantuan sosial, bantuan restrukturisasi kredit ke dunia usaha, jaminan pinjaman, hingga intensif bagi dunia usaha.
"Semuanya langsung kena, neraca rumah tangga, perusahaan, perbankan. Kena semua. Lagi lagi ujungnya keuangan negara, negara hadir bantu neraca yang jatuh tadi," papar Sri Mulyani.
(hal/dna)