Tarif PCR Mau Turun Jadi Rp 300 Ribu, Kenapa Nggak Bisa dari Dulu?

Tarif PCR Mau Turun Jadi Rp 300 Ribu, Kenapa Nggak Bisa dari Dulu?

Achmad Dwi Afriyadi - detikFinance
Rabu, 27 Okt 2021 09:47 WIB
30 orang siswa dan 3 orang guru SDN 15 Kresna, Cicendo, Kota Bandung menjalani tes PCR. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi penyebaran COVID-19 di lingkungan sekolah atau klaster COVID-19 di lingkungan sekolah.
Foto: Wisma Putra
Jakarta -

Rencana pemerintah menurunkan harga tes PCR kerap memicu pertanyaan publik. Terbaru, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta tarifnya turun menjadi Rp 300 ribu.

Pertanyaan yang kerap muncul ialah kenapa tidak turun dari dulu. Sebab, tarif PCR awalnya mencapai angka jutaan rupiah.

Sekretaris Jenderal Gabungan Perusahaan Alat-alat Kesehatan dan Laboratorium (Gakeslab) Randy Teguh pun memberi penjelasan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Itu semua level (harga) di rumah sakit, artinya kan yang sejuta, dua juta, bayarnya di rumah sakit. Bahkan diatur Rp 900 ribu itu di rumah sakit," katanya kepada detikcom, Rabu (27/10/2021).

Berdasarkan data yang dimilikinya, dia mengatakan, ketika pemerintah mematok harga PCR menjadi Rp 900 ribu, anggotanya menjual reagen di kisaran harga Rp 400 ribu hingga Rp 500 ribu. Reagen merupakan salah satu komponen dalam tes PCR. Tingginya harga karena masih teknologi baru dan produsennya pun masih sedikit.

ADVERTISEMENT

"Mengapa? Jangan lupa ini teknologi baru, artinya pada saat COVID baru dikembangkan dan juga mungkin jumlah produsen masih terbtas, jumlah kasusnya masih sedikit," katanya.

Ketika pemerintah kembali menurunkan tes PCR menjadi Rp 495 ribu, dia mengatakan, harga reagen sendiri telah menjadi di kisaran Rp 200 ribu.

"Pada saat ditentukan Rp 450 ribu itu kalau nggak salah Mei, Juni, Juli itu di saat jumlah kasus sudah 10.000-20.000-an di Indonesia. Jumlah kasusnya banyak, dan pada saat itu saya cek harga reagen di e-katalog juga sudah turun sekitar Rp 200 ribu-an," katanya.

Dia pun mengatakan, anggotanya menetapkan harga sesuai dengan mekanisme pasar. Semakin banyak pemain, maka harga akan terkoreksi.

"Sekarang ini kalau kita cek ada sekitar 50-an reagen sudah ada di Indonesia, artinya tanda petik persaingannya banyak ya otomatis ada mekanisme koreksi harga," imbuhnya.

Lanjut membaca ke halaman berikutnya

Reagen-reagen ini kebanyakan dari impor. Masih berdasarkan datanya, dari 52 reagen, hanya 3 yang produksi dalam negeri. Dia bilang, 95% reagen masih impor.

"Swab stick sama, dari 27 hanya 3 produk dalam negeri," imbuhnya.



Simak Video "Blak-blakan Epidemiolog Dicky Budiman: Tes PCR, Kepentingan Medis atau Bisnis?"
[Gambas:Video 20detik]

Hide Ads