Beberapa teknik yang dilakukan dalam pencurian data ini dikenal dengan beberapa istilah seperti skimming, phising dan ransomware yang beberapa tahun terakhir populer terjadi di berbagai negara.
"Tahun 2021 sektor keuangan cukup signifikan (sebagai) target serangan. Memang dari angka-angka ini ke sektor keuangan 20% itu adalah serangan server lalu 10% nya itu adalah ransomware. Kita tahu ransomware populer di tahun-tahun ke belakang dan tentunya itu harus diantisipasi oleh teman-teman semua di sektor keuangan," kata Edit.
Pihaknya mengakui, perihal regulasi pemerintah Indonesia masih belum cukup mengantisipasi permasalahan tersebut. Sehingga ke depan akan disiapkan Perpres baru mengenai aturan keamanan cyber tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Terhadap regulasi juga memang kita harus akui berbagai kebijakan di Indonesia belum cukup ampuh mengantisipasi meningkatnya cyber crime, khususnya di masa pandemi. Pada prinsipnya diharapkan pelaku penyelenggara menerapkan kerangka kerja yang berbasis merujuk pada standar," kata dia.
"Kita perlu berbagi informasi ketika ada insiden bisa dilaporkan ke otoritas sehingga otoritas bisa mengambil langkah-langkah yang dianggap perlu agar insiden itu tidak menyebar ke sektor lain. Hal ini yang perlu dilanjutkan dan dikembangkan dalam Perpres nanti," jelasnya.
Sekadar informasi, maraknya kasus kebocoran data di Indonesia kembali memunculkan pertanyaan kabar Rancangan Undang-undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP). Berbagai pihak mendesak pemerintah agar segera membahas RUU tersebut lantaran tahun 2021 akan segera usah padahal RUU PDP masuk dalam Prolegnas 2021.
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menyebutkan bahwa pemerintah dan DPR akan membahas RUU PDP kembali pada bulan November ini.
"Kalau ditanya, apakah pembahasan RUU PDP akan dilanjutkan? Jawabannya, iya akan dilanjutkan. Pada awal November 2021, Panja dari pihak pemerintah dan DPR akan melanjutkan pembahasan," kata Juru Bicara Kementerian Kominfo, Dedy Permadi, Senin (25/10) lalu.
(eds/eds)