China tengah menghadapi inflasi karena berbagai krisis. Tak hanya kasus COVID-19 yang kembali naik, negara itu juga menghadapi krisis properti, hingga panic buying. Kini krisis listrik pun melanda China diiringi dengan kenaikan harga makanan eceran.
China tercatat telah mencapai angka inflasi tertinggi sejak 26 tahun lalu karena harga batu bara melonjak di tengah krisis listrik. Kekhawatiran akan stagflasi (inflasi yang berkepanjangan) semakin tak terhindarkan.
Biro Statistik Nasional (NBS) mencatat Indeks Harga Produsen naik 13,5% dari tahun sebelumnya, atau naik lebih cepat sebesar 10,7% pada September. Angka tersebut menyaingi kecepatan kenaikan Indeks Harga Produsen pada Juli 1995 lalu dan lebih cepat dari perkiraan analis yakni 12,4%.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dengan melonjaknya harga pertambangan dan batubara hingga 103,7% dari tahun sebelumnya serta harga di industri ekstraksi minyak dan gas pun naik 59,7% maka secara otomatis industri hulu telah mendorong kenaikan harga barang di pabrik.
Selain itu, jatah listrik masyarakat dan produksi pun berkurang dalam beberapa bulan terakhir. Hal itu karena adanya pembatasan emisi karbon dan melonjaknya harga batu bara yang merupakan bahan bakar utama untuk pembangkit listrik. Meskipun, harga batu bara sempat turun setelah diintervensi oleh pemerintah.
"Inflasi gerbang pabrik mungkin mendekati puncaknya," kata Julian Evans-Pritchard, ekonom senior China di Capital Economics, dalam sebuah catatan dikutip dari Reuters, Kamis (11/11/2021).
Kemudian, kenaikan harga konsumen juga merangkak naik dengan cepat. Indeks Harga Konsumen naik 1,5% pada Oktober year-on-year. Sedangkan jika dibandingkan dengan bulan lalu mengalami kenaikan sebesar 0,7%.