Jakarta -
Polemik tes Polymerase Chain Reaction (PCR) di Tanah Air sempat menjadi topik perbincangan. Berawal dari munculnya kritikan publik terhadap persyaratan penerbangan Jawa-Bali di masa PPKM, sebelum aturannya diubah hingga adanya dugaan pemain besar di balik praktik bisnis PCR.
Kegiatan bisnis PCR pun dibongkar oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Direktur Ekonomi KPPU, Mulyawan Ranamanggala mengatakan, memang ada beberapa pihak yang memanfaatkan kebijakan PCR demi meraup keuntungan.
"Kami melihat ini ada indikasi memaksimumkan keuntungan ketika tadi ada bundling PCR. Ketika ada tes PCR yang di-bundling dengan jasa konsultasi dengan dokter misalnya. Dia (tarif PCR) akan melambung harganya jadi dua kali lipat," ungkap Mulyawan dalam sebuah forum jurnalis virtual, dikutip Minggu (14/11/2021).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pihaknya juga mengendus adanya kelompok tertentu dari pelaku usaha laboratorium PCR. Kelompok ini juga sama-sama berpotensi melakukan upaya persaingan yang tidak sehat di bisnis PCR.
Mulyawan sempat dikonfirmasi dengan nama-nama 'pemain besar' dari bisnis PCR ini seperti GSI, Bumame hingga Intibio. Namun Mulyawan tidak bicara banyak dan menuturkan masih mendalami seberapa besar kekuatan kelompok ini dalam bisnis PCR di dalam negeri.
"Mengenai data kelompok pelaku usaha besar yang banyak beredar, mungkin saya bisa jawab sebagian mungkin benar. Tapi kami masih akan verifikasi dari informasi beredar, kami masih pendalaman," kata dia.
"Kami indikasikan bahwa ada beberapa kelompok usaha dalam pelaku usaha laboratorium. Kami sedang dalami bagaimana kekuatan kelompok usaha ini dalam pangsa pasarnya di bisnis tes PCR yang dilakukan selama ini," sambungnya.
Halaman selanjutnya buka-bukaan harga.
KPPU mencatat, reagen menjadi komponen terbesar dalam menentukan harga satu kali tes PCR. Pada 2020 lalu, harga reagen dibanderol dari Rp 250-700 ribu, angka itu didapatkan sesuai dengan hitungan berbagai lembaga mulai dari BPKP, Kemenkes, hingga asosiasi pelaku usaha.
Teranyar per September 2021, harga rata-rata reagen yang disediakan di e-Katalog dibanderol sekitar Rp 180.367 per satu unit reagen. Bila diambil angka kisarannya, harga satu reagen tertinggi berada di Rp 234 ribu dan yang terendah sebesar Rp 135 ribu. Dalam e-Katalog, reagen dijual per kemasan dengan isi mulai dari 48 hingga 384 reagen.
"Dengan demikian kami menilai kemampuan pelaku usaha untuk melakukan penyesuaian tarif PCR. Artinya pengusaha punya ruang untuk menyesuaikan biaya-biaya komponen harga," ungkap Mulyawan.
Sementara itu, CEO PT Cito Putra Utama (Lab Cito) Dyah Anggraeni memberikan simulasi biaya tes PCR menggunakan open system. Biaya pertama dikeluarkan untuk SDM rata-rata Rp 41 ribu per tes.
Adapun komponen kedua HPP (harga pokok produksi) yang terdiri dari reagen dengan simulasi menggunakan harga Rp 96 ribu. Kemudian setelah melalui melalui proses ekstraksi, amplifikasi, proses berulang dan lain-lain asumsi biaya reagen untuk komponen HPP menjadi Rp 175.098.
"Ini kalau harga reagen Rp 96 ribu. Harga reagen sebelumnya bisa sampai Rp 500 ribu. Makanya dulu kenapa PCR bisa sampai Rp 1 juta ya karena harga reagennya tinggi," kata Dyah.
Lalu dalam komponen HPP pun ada biaya APD sebesar Rp 23.767 per 1 kali tes. Kemudian ada biaya bahan habis pakai (BHP) sebesar Rp 15.545, sehingga total HPP sebesar Rp 214.319 per 1 kali tes, komponen biaya overhead sebesar Rp 54.895 dan komponen biaya administrasi Rp 20.000.
Nah setelah ditotal dari komponen mulai dari SDM, HPP, Overhead dan Administrasi maka total biaya untuk 1 kali tes PCR menggunakan open system adalah sebesar Rp 330.438.