Ekonomi RI Mulai Moncer, tapi Deretan Ancaman Ini Masih Mengintai

Ekonomi RI Mulai Moncer, tapi Deretan Ancaman Ini Masih Mengintai

Herdi Alif Al Hikam - detikFinance
Rabu, 17 Nov 2021 20:15 WIB
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati hadiri rapat kerja bersama Komisi XI DPR RI. Sri Mulyani membahas kondisi ekonomi di tahun 2020.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati/Foto: Lamhot Aritonang
Jakarta -

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pemulihan ekonomi telah berjalan dengan cepat di Indonesia. Pada kuartal IV-2021, pertumbuhan ekonomi disebut akan meningkat dengan kuat.

Hal itu dapat dilihat dari berbagai indikator ekonomi yang mengalami kenaikan pesat, seperti indeks kepercayaan konsumen yang meningkat, indeks penjualan ritel yang juga terus tumbuh, hingga pulihnya permintaan pada industri yang dilihat dari Purchasing Managers' Index (PMI).

"Belum lagi ekspor impor kita juga sudah tumbuh tinggi sampai 50%," ungkap Sri Mulyani saat memberikan keterangan pers virtual usai rapat terbatas di Istana Negara, Rabu (17/11/2021).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bukan cuma di sektor riil, pasar keuangan pun mengalami pertumbuhan yang pesat. Paling terasa terjadi pada spread yield surat berharga yang turun ke angka 449 basis point (bps) dari awalnya di level 512 bps.

"Rupiah, indeks harga saham juga mengalami perbaikan," tambah Sri Mulyani.

ADVERTISEMENT

Tapi jangan senang dulu, ekonomi Indonesia masih dihantui berbagai ancaman pelemahan. Yang paling diwaspadai adalah kenaikan harga alias inflasi.

"Kita harus paham ada tantangan yang mesti diwaspadai, ada kecenderungan inflasi dan kenaikan harga-harga," ungkap Sri Mulyani.

Berlanjut ke halaman berikutnya.

Dia mengatakan saat ini kecenderungan kenaikan harga semakin tinggi di tingkat produsen. Data yang dia paparkan ada kenaikan harga di tingkat produsen sebesar 7,3% di Indonesia. "Hal ini bisa naikkan harga di tingkat konsumen dan diukur jadi inflasi," katanya.

Bukan cuma inflasi barang dan jasa saja, di sektor keuangan Sri Mulyani mengatakan ada ancaman dari langkah tapering off yang dilakukan Bank Sentral Amerika Serikat (AS). Hal ini bisa membuat goncangan di pasar modal.

Ada kemungkinan arus modal ke negara berkembang macam Indonesia akan berkurang. Bahkan bisa jadi investor akan menarik modalnya dari negara berkembang. Imbasnya nilai tukar bisa melemah.

Hal ini sudah terjadi di beberapa negara berkembang seperti Argentina hingga Turki. Di sana, menurut Sri Mulyani nilai tukarnya sudah mengalami depresiasi.

"Secara historis kenaikan federal fund rate biasanya bisa timbulkan goncangan pada capital flow ke emerging country dan bisa timbulkan ekses ke nilai tukar," ungkap Sri Mulyani.

Halaman 2 dari 2
(hal/ara)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads