Sejarah Kebangkitan Ekonomi hingga Banyak Negara Terjerat Jebakan Utang China

Sejarah Kebangkitan Ekonomi hingga Banyak Negara Terjerat Jebakan Utang China

Siti Fatimah - detikFinance
Minggu, 05 Des 2021 16:58 WIB
Utang China di Infrastruktur RI
Foto: Utang China di Infrastruktur RI (M Fakhry Arrizal/detikcom)
Jakarta -

Akhir-akhir ini, China kembali menjadi sorotan dunia setelah Uganda masuk dalam jebakan utang dan terancam melepas satu-satunya bandara internasional negaranya ke China. Negara bagian timur Afrika itu gagal membayar utang hingga infrastrukturnya berupa Bandara Internasional Entebbe diserahkan kepada China.

Banyak yang tak sadar akan kebangkitan ekonomi China. Sejarah mencatat, negara tersebut mengalami kebangkitan ekonomi hanya dalam waktu dua dekade, yang asalnya menempati negara ketiga paling bermasalah kini menjadi negara dengan ekonomi terbesar kedua menyaingi Amerika Serikat (AS).

Lalu apa hubungannya dengan utang yang diberikan China kepada mayoritas negara berkembang di Asia dan Afrika? Simak terlebih dahulu lika-liku perjalanan China untuk membangkitkan ekonominya hingga bisa memberikan utang secara cuma-cuma ke berbagai negara, dikutip dari film dokumenter History 101: The Rise of China, Minggu (5/12/2021).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Semasa Perang Dunia II, China dan Amerika adalah sekutu yang kuat dalam perang melawan agresi kekaisaran Jepang. Seperti Amerika, China terjun ke sistem produksi dalam skala besar, salah satunya memproduksi selimut untuk tentaranya.

Namun, setelah melawan Jepang, China terpecah belah karena perang saudara antara nasionalis yang didukung Amerika, dipimpin oleh Chiang Kai-shek dengan tentara komunis yang dipimpin Mao Zedong.

ADVERTISEMENT

Tepat pada 1949, Mao menyapu bersih kemenangan hingga dia membentuk Rapublik Rakyat Tiongkok (RRT). Di bawah kepemimpinannya, China harus benar-benar mandiri dalam hal keuangan, makanan dan barang.

Saat itu, tak ada lagi bursa efek dan hubungan diplomatik termasuk ekonomi dengan Barat kapitalis. China dengan 542 juta penduduknya (tahun 1949) akan mengasingkan diri dari negara-negara lain.

Simak video 'Ma'ruf Amin Ungkap Cita-cita Indonesia Jadi Pusat Ekonomi Syariah':

[Gambas:Video 20detik]



Bagaimana perjalanan ekonomi china selanjutnya? Buka halaman selanjutnya.

Beranjak pada tahun 1958, untuk memodernisasi negara agrarisnya yang besar, Mao mendorong jutaan petani untuk meninggalkan pertanian mereka dan bekerja di pabrik. Untuk memastikan tak ada warga yang keberatan, dia melancarkan revolusi budaya, menghukum penentang dengan mengirim mereka ke kamp pendidikan.

Sebenarnya, Mao menyadari akan kekurangan atas kepemimpinannya itu karena tidak dapat menyeimbangkan pembangunan industri dan pertanian hingga perkiraan tahun 1958-1959, Mao meluncurkan program Lompatan Jauh ke Depan (the Great Leap Forward).

Atas dorongan Mao, kelompok paramiliter yang menamakan dirinya Tentara Merah (Red Guards) menyerang kaum intelektual borjuis. Setidaknya ada 1 juta jiwa tewas. Sementara itu, the Great Leap Forward yang dielu-elukan Mao dapat meningkatkan kesejahteraan justru menyebabkan China menderita kelaparan, infrastruktur rusak, krisis ekonomi dan China diabaikan oleh negara-negara lain.

Pada 1960, ekonomi China memiliki nilai sebesar US$ 59 miliar, angka itu tak sebanding dengan AS yang bernilai US$ 543 miliar. Namun pada awal tahun 1972, Amerika memutuskan untuk merayu Mao dan memanfaatkan keretakan antara Mao dan rekan-rekan komunisnya di Uni Soviet.

Presiden AS saat itu, Richard Nixon merupakan presiden pertama yang mengunjungi China. Nixon berharap bisa menggalakkan demokrasi ala Amerika di China namun hingga Mao meninggal pada 1976, sistem autokrasinya (diktator) tetap hidup.

Kemudian pada 1978 kepemimpinan China diambil alih oleh Deng Xiaoping. Dia menegaskan Partai Komunis tidak akan melepaskan kekuasaan. Berbeda dengan Mao, Deng Xiaoping saat itu mempertimbangkan untuk menyambut negara Barat jika itu bisa menghasilkan profit atau keuntungan.

Pada Februari 1749, Deng berpartisipasi dalam rodeo (pertunjukkan menunggangi banteng liar di AS). Dia menjadi pemimpin China pertama yang berkeliling AS bahkan mendapatkan tour VIP ke NASA.

Alasan kunjungan Deng ke China sekaligus memberikan sinyal ke dunia bahwa komunis China terbuka untuk kegiatan berbisnis. Secara tidak langsung, komunis China kembali ke panggung internasional.

Kemajuan ekonomi China tak dapat dipungkiri ada campur tangan kebijakan pemerintah. Pada 1979, mereka mengawali dengan gebrakan reformasi ekonomi, membentuk empat kawasan ekonomi khusus (KEK).

Kelebihan kawasan ini adalah pabrik-pabrik dapat ekspor ke negara Barat, artinya pengimpor dapat dengan bebas berniaga dengan negara-negara kapitalis. Tujuannya agar kawasan tersebut menarik investasi asing dan berfungsi sebagai mesin ekonomi untuk seluruh negeri dan program itu sukses besar!

Di awal pembangunan KEK, manajer pabrik-pabrik memanfaatkan banyaknya tenaga kerja China untuk memproduksi barang ekspor yang berbiaya rendah. Mereka dituntut kerja cepat sehingga produktivitas pun meningkat pesat.

"Memulai bisnis di zona pengembangan berarti profit bebas pajak, harga sewa rendah dan buruh murah yang tak terbatas," kata salah satu manajer pabrik yang tak disebutkan identitasnya.

Reformasi tersebut semakin melebar sampai tahun 1982, daerah yang tadinya mencakup desa dan sawah disulap menjadi kawasan komersial di mana kota industrial dibangun dari nol. Saking drastisnya, salah satu KEK yang tadinya desa nelayan dengan dihuni 59 ribu penduduk, melompat di 2016 populasinya menjadi 12 juta.

Sementara itu, di kawasan ekonomi khusus lain, Provinsi Guangdong memiliki satu komoditas terbesar yaitu pabrik mainan. Ada 1.500 pabrik mainan dan kawasan itu dikenal sebagai basis produksi terbesar di dunia yang mengekspor mainan senilai miliaran dolar tiap tahun.

"Di tempat lain, ini disebut kapitalisme. Di sini, sebutannya adalah Sosialisme dengan Karakteristik China," kata salah satu manajer yang juga tidak disebutkan identitasnya.

'Sosialisme dengan karakteristik China' adalah cara China memenuhi tingginya permintaan konsumen akan barang murah di Barat. Secara ekonomi, China mulai mengejar namun Amerika tetap nomor wahid.

Antara tahun 1980 dan 1990, ekonomi China hampir meningkat dua kali lipat. China tercatat memiliki nilai US$ 191 miliar, dan pada 1990 sebesar US$ 360 miliar. Namun begitu juga dengan Amerika, terus unggul jauh di mana pada tahun 1990 ekonominya mencapai US$ 6 triliun.

Siapa bilang dengan sistem kapitalis China tidak memiliki masalah? Tahun 1989, terjadi pertumpahan darah para pemuda-pemudi yang melakukan protes atas kebijakan China soal mencari keuntungan. Peristiwa tragis itu terjadi di Lapangan Tiananmen Beijing, pelajar mulai melancarkan protes harian, menyerukan demokrasi, kebebasan berbicara, dan kebebasan pers.

Namun pada 4 Juni, Partai Komunis yang berkuasa mengirim pesan kepada para pelajar. "Kebebasan ekonomi bisa diperbincangkan. Namun kebebasan politik itu mustahil," tulis pesan tersebut.

Tank dan tentara dikirim ke lapangan lalu menembaki para pengunjuk rasa. Pemerintah China tak pernah mengumumkan jumlah korban tewas secara resmi. Namun insiden tersebut dikenal secara internasional sebagai Pembantaian Lapangan Tiananmen.

Bursa Efek Kembali Dibuka

Selain menghukum para pemrotes otoritas pemerintah, mereka menjanjikan imbalan bagi mereka yang tertarik menghasilkan uang. Pada Desember 1990, mereka membuka kembali bursa efek di Shanghai hingga memicu demam tinggi di pasar saham.

"Saham ditawarkan dan bagi orang China itu permainan baru yang menarik. Ini kesempatan untuk menjadi kapitalis sejati. Saya mengimpikan uang. Hanya uang," kata seorang warga China.

China Produksi Barang Palsu

Akhir tahun 1990-an tanda-tanda kesuksesan ekonomi China melanglang buana. Kenangan akan warga sipil yang terbunuh di Lapangan Tiananmen dan kebebasan yang mereka cari mulai memudar.

Di sisi lain, upah buruh serta kualitas hidup mereka meningkat. Perusahaan asing pun mulai bergegas membuka lapak untuk menjangkau miliaran konsumen China. Barang impor mewah menjadi simbol status yang sangat didambakan.

Namun sebagian besar warga China tak mampu membeli barang impor mahal bermerek. Akhirnya, permintaan akan barang palsu muncul, tentu saja memicu ledakan baru bagi produsen China hingga barang palsu mampu menyumbang 8% dari total PDB China. Barang-barang palsu pun mulai merambah ke seluruh dunia.

Lima barang palsu terbesar China adalah smartphone, tas mewah bermerek, alas kaki, pakaian olahraga tiruan Nike, Puma hingga North Face dan diperkirakan 20% kosmetik di pasar China adalah produk palsu.

Produsen original tentu tidak diam saja. Keinginan China masuk dalam World Trade Organization atau WTO (Organisasi Perdagangan Dunia) didukung oleh Presiden AS Bill Clinton asal China mampu tegas untuk menindak produsen peniru dan itu pun diamini oleh China.

Lalu pada November 1998, Amerika setuju mendukung masuknya China ke WTO. "Amerika Serikat dan China baru saja mencapai kesepakatan perihal WTO. Ini sungguh pencapaian bersejarah," kata Richard Holbrooke selaku Duta Besar Amerika Serikat saat itu.

Akan tetapi, China melanggar janjinya soal produsen barang palsu. Nyatanya hingga 2019, sekitar 85% barang palsu di seluruh dunia masih berasal dari China dan posisi kedua ditempati oleh Turki dengan persentase hanya 3%.

Krisis Ekonomi 2008

Singkat cerita, perjalanan ekonomi China tak lepas dari sejarah krisisnya. Perbedaanya ini adalah krisis ekonomi global, bencana ekonomi terparah sejak tahun 1929. Di Amerika lebih dari 2,6 juta orang kehilangan pekerjaan, 1,8 juta bisnis gulung tikar serta 10 juta rumah disita dalam waktu kurang dari 2 tahun.

Pada Desember 2008, China juga terkena imbasnya melalui berakhirnya ekspor China ke AS. Banyak pabrik China tutup termasuk satu pabrik besar yang memproduksi simbol musim dingin (christmas). Eits, perlu diingat, di China, negara mengatur segalanya dan Pemimpin Tertinggi baru China Hu Jintao justru punya solusi jitu menghadapi krisis tersebut dengan menggunakan anggaran negara untuk menutupi kerugian.

"Untuk kembangkan sistem politik sosialis dan demokrasi, kita harus melanjutkan kebijakan Sosialisme dengan Karakteristik China," kata Jintao dalam sebuah forum.

Tanpa kebebasan pers dan perlawanan politik, pemerintah China dengan cepat melanggengkan dana talangan sebesar US$ 586 miliar. Pabrik-pabrik China langsung tancap gas dari membuat barang untuk diekspor menjadi produksi barang untuk konsumen dalam negeri. Bagi China, krisis ekonomi tahun 2008 nyatanya tak begitu menjatuhkan tapi hanya kemelut sepintas.

Investasi di Negara-negara Berkembang

China semakin agresif soal pembangunan infrastruktur. Pada tahun 2005, China membangun wilayah seluas Roma setiap dua pekan sekali. Antara tahun 2011 dan 2013, China menggunakan lebih banyak semen (6,6 gigaton) daripada Amerika (4,5 gigaton) dalam 100 tahun.

Dengan pengaruh ekonomi barunya, China diam-diam mulai berinvestasi di negara-negara berkembang di Afrika dan Asia. Salah satu kebijakan paling ambisinya disebut Prakarsa Sabuk dan Jalan yaitu berjibunnya proyek infrastruktur di seluruh dunia.

Beberapa di antaranya adalah rel kereta sepanjang 12.000 kilometer yang membentang dari Yiwu di pesisir China hingga ke London. Itu merupakan jaringan rute darat yang menghubungkan China Timur dengan Pelabuhan Laut Dalam Pakistan. Jalur ini diperkirakan mencakup 4,4 miliar orang dan US$ 2,1 triliun produksi bruto atau 63% dari populasi dunia dan 29% dari PDB dunia.

Selain itu, ada juga pembangunan infrastruktur berupa saluran pipa sepanjang 1.833 kilometer yang bisa mengalirkan gas alam dari Turkmenistan di sepanjang Asia Tengah ke perbatasan China. Setidaknya pada 2015, China telah berinvestasi lebih dari US$ 1 triliun dalam proyek infrastruktur di banyak negara.

Strategi terkini pemimpin baru China, Xi Jinping yang dikenal dengan konsep Jalur Sutra atau 'One Belt, One Road' yang terdiri dari 'Sabuk Ekonomi Jalur Sutra Baru' (news Silk Road economic belt) membuat negara Barat terkejut. Format konsep China cukup sederhana, siapkan proyek oleh pemerintah setempat khususnya di sektor transportasi dan energi, selanjutnya China langsung memberikan pinjaman jangka panjang dengan bunga yang sangat kompetitif.

Xi Jinping juga menambahkan satu konsep lagi di jalur lautan yakni 'Jalur Sutra Maritim Abad ke-21 (21st Century Maritime Silk Road) yang dipandang sebagai upaya untuk mempererat hubungan dengan Asia Selatan dan Asia Tenggara dengan memfokuskan pada keamanan perdagangan Maritim.Pendukung investasi internasional China mengklaim proyek-proyek infrastruktur ini akan membebaskan jutaan orang dari kemiskinan dan menciptakan lapangan kerja di negara-negara miskin.

Sementara Kritikus mengatakan, strategi itu adalah perampasan tanah dengan buku utang sebagai pedangnya. Bagaimanapun juga, dengan strategi itu mampu meningkatkan kekayaan China secara besar-besaran. Dikutip dari Asean China, pada 2013 Xi Jinping menegaskan dalam pidatonya dihadapan parlemen Indonesia bahwa China akan memperkuat kerja sama maritim dengan ASEAN dan memajukan partnership maritim dengan ASEAN dalam rangka membangun Jalur Maritim Abad ke-21.

Penekanan utama terletak pada kerja sama ekonomi yang kuat termasuk aspek finansial, patungan infrastruktur (pembangunan jalan raya dan jalur kereta) serta kerja sama teknis dan ilmiah dalam isu lingkungan. Pada 2018, ekonomi China tumbuh sebesar US$ 13 triliun dan hampir menyamai Amerika dengan nilai sebesar US$ 20 triliun. Tebakan yang masuk akal kapan ekonomi China mengungguli Amerika adalah pada tahun 2025, banyak pihak memprediksi China dapat menjadi raksasa ekonomi nomor satu di dunia.

Dengan strategi China 'One Belt, One Road' itu memunculkan beberapa negara yang tidak mampu menjalankan proyek kerja sama dengan tepat. Sehingga proyek itu mangkrak dan pemerintah yang bersangkutan terpaksa menanggung utang besar hingga pada akhirnya pemerintah menyerahkan pembangunan infrastruktur yang awalnya berbentuk kerja sama itu untuk dibangun dan dikelola oleh perusahaan China.


Hide Ads