China memutuskan sudah waktunya mengguyur lebih banyak uang ke dalam perekonomiannya demi mencegah ancaman terhadap pemulihan. The People's Bank of China (Bank Rakyat China) mengatakan akan memotong rasio persyaratan cadangan untuk sebagian besar bank hingga setengah poin persentase mulai 15 Desember.
Langkah yang mengurangi jumlah uang yang harus disimpan bank sebagai cadangan itu akan menghabiskan sekitar US$ 188 miliar, atau setara Rp 2.688 triliun (asumsi kurs: Rp 14.300) untuk pinjaman usaha dan rumah tangga. Demikian disadur detikcom dari CNN, Rabu (8/12/2021).
Itu adalah pemotongan kedua untuk rasio persyaratan cadangan yang dilakukan tahun ini. China mengisyaratkan bahwa mungkin akan mengambil tindakan yang lebih agresif untuk melindungi ekonomi pada tahun depan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Analis dari Citi mencatat bahwa negara itu perlu mendukung permintaan perumahan yang wajar di masa depan. Itu sejalan dengan pemotongan rasio bank sentral.
"Mengirimkan sinyal bahwa kebijakan akan berubah lebih akomodatif pada properti," tulis mereka dalam sebuah catatan penelitian.
Baca juga: Saham Evergrande Ambrol Gara-gara Ini |
Tim kepemimpinan Partai Komunis China yang diketuai oleh Presiden Xi Jinping mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa dipastikan stabilitas akan menjadi prioritas utama di tahun mendatang.
"Dengan kata lain, para pemimpin puncak sangat prihatin dengan risiko potensi ketidakstabilan," tambahnya dalam catatan penelitian.
Beijing sangat berhati-hati dalam mengintervensi pemulihan ekonomi China selama pandemi virus Corona. Belum lagi mereka telah memotong suku bunga pinjaman acuan negara sejak awal 2020, dan telah menahan diri untuk tidak membanjiri ekonomi dengan stimulus, alih-alih menawarkan dukungan yang lebih bertarget untuk bisnis kecil yang terkena pandemi.
Ekonomi terbesar kedua di dunia itu mengungguli negara-negara besar lainnya selama pandemi, dan merupakan satu-satunya ekonomi global utama yang tumbuh tahun lalu.
Tetapi China telah menghadapi banyak tantangan untuk pertumbuhan pada tahun 2021, termasuk kekurangan pasokan listrik, penundaan pengiriman, dan krisis di real estat. Analis juga khawatir tentang dampak tindakan keras besar-besaran negara itu terhadap perusahaan teknologi dan perusahaan swasta lainnya.
Menurut Larry Hu, kepala ekonomi China untuk Macquarie Group mencatat bahwa selama pertemuan Politbiro Desember lalu, kepemimpinan mengisyaratkan bahwa mereka akan memperketat peraturan tentang perusahaan swasta.
"Kali ini, rapat Politbiro menyarankan bahwa prioritas telah bergeser dari pengetatan regulasi menjadi mendukung pertumbuhan," tambahnya.
Krisis real estat mungkin tampak paling besar bagi China. Evergrande, salah satu pengembang terbesar dan paling banyak utang di negara itu sudah tertatih-tatih di ambang gagal bayar selama berbulan-bulan. Pada hari Jumat, mereka memperkirakan bahwa mungkin tidak memiliki cukup uang untuk memenuhi kewajiban keuangannya.
Analis telah lama khawatir bahwa runtuhnya Evergrande dapat memiliki efek di seluruh sektor properti di China yang menyumbang sebanyak 30% dari PDB.
Lihat juga video 'Momen Prabowo dan Menhan China Bertemu Virtual':