Di tengah menjamurnya perusahaan rintisan atau startup di Indonesia, PT Riza Kreasi Naturalindo sebagai produsen skin care dengan brand Bhumi, memilih menjalankan bisnis tanpa investor. Dengan pola bisnis bootstrap ini, Bhumi lebih leluasa untuk berkembang sesuai idealisme yang dipegang.
Chief Operating Officer (COO) Bhumi, Ahmad Rashed mengungkapkan brand Bhumi dirintisnya sejak tahun 2017 bersama sang kakak. Perusahaan didirikan dan dijalankan dengan modal dana pribadi mereka, tanpa ada campur tangan investor atau pinjaman.
Ahmad menjelaskan sampai saat ini perusahaannya belum menjaring dukungan modal dari pihak manapun. Salah satu alasan utamanya, karena Ahmad dan sang kakak ingin Bhumi terlebih dahulu mapan dari segi kualitas produk, brand positioning, hingga performa bisnis. Mereka ingin bisnis yang dirintis ini berkembang sesuai visi yang ditetapkan sejak awal.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sama kalau kita punya baby. Kita ga mau diurus yang lain, kita maunya anak ini kita urus sendiri," kata Ahmad kepada detikcom, Senin (13/12/2021).
Ahmad menuturkan, Bhumi mengedepankan kualitas produk agar dapat menjawab kebutuhan konsumen di Indonesia. Ia mengatakan setiap produk yang dikeluarkan Bhumi telah melalui proses research and development (R&D) yang komprehensif. Selain itu, material yang digunakan dipilih secara selektif untuk memastikan kandungannya efektif dan aman untuk digunakan konsumen.
"Material kita ada beberapa yang impor, dan dipastikan kualitasnya baik dan aman. Selain itu, ada juga bahan-bahan yang memang cuma ada di Indonesia, seperti minyak sandalwood dari Papua itu kita pakai," urai Ahmad.
Selain itu, kata dia, setiap produk yang dirilis Bhumi sudah dipastikan aman untuk digunakan. Jika masih ditemukan ketidakcocokan pada responden yang terlibat dalam proses R&D, produk akan diformulasi ulang.
"Kalau sudah di atas 80 persen (responden) cocok, baru kita rilis. Kalau baru 50-60 persen yang cocok nggak akan kita keluarkan," tegas Ahmad.
Kualitas yang terjamin itulah yang menumbuhkan kepercayaan bagi konsumen. Dari situ, mereka akan merekomendasikan produk Bhumi dari mulut ke mulut. Pemasaran organik inilah yang membuat bisnis Bhumi terus membesar.
Ia menambahkan 95 persen pelanggan Bhumi merupakan loyal customer yang sudah membeli produk-produk Bhumi lebih dari satu kali. Hal ini, kata Ahmad, menunjukkan kualitas produk Bhumi memberikan kepuasan dan kepercayaan bagi pelanggan.
"Kenapa Bhumi itu bisa berkembang banget dari 2019, 2020, 2021? Karena hampir semuanya (pelanggan) adalah loyal customer. Jadi kita secara followers Instagram baru sekitar 70 ribu, tapi rata-rata pembeli kita itu rata-rata sudah beberapa kali beli. Jadi kita maintain kualitas kita hati-hati deh kalau kita bikin produk, karena kita sudah punya tipe customer yang seperti itu," urai Ahmad.
Ahmad menggarisbawahi, produk Bhumi yang dibanderol dengan harga ratusan ribu rupiah memang diperuntukkan bagi para wanita dewasa dengan rentang usia 26-45 tahun yang menganggap skin care sebagai investasi untuk tubuh mereka.
"Memang target pasarnya wanita yang sudah dewasa, mereka yang sudah berkarier dan sudah stabil ekonominya. Umumnya produk kita itu, seperti moisturizer, serum, yang memang manfaatnya itu untuk antiaging," jelas Ahmad.
Mengenai performa bisnis kala pandemi, Ahmad menyebut penjualan Bhumi cenderung meningkat dibandingkan sebelum pandemi. Berdasarkan pengamatan timnya, hal ini lantaran di masa pandemi semakin banyak orang yang peduli akan perawatan tubuhnya dan mulai mencari tahu mengenai jenis-jenis skin care yang dibutuhkan sesuai tipe kulit mereka.
"Di masa pandemi ini orang-orang semakin mendalami soal skin care, mereka cari tahu dan di situ kita beri edukasi mengenai skin type, apakah kulit mereka oily atau dry, mereka semakin well educated. Dari pemahaman itu kemudian terkonversi mereka membeli produk Bhumi," ulas Ahmad.