Membedah Salah Kaprah IKN Diduduki China

Kolom

Membedah Salah Kaprah IKN Diduduki China

Khairul Fahmi - detikFinance
Minggu, 23 Jan 2022 11:45 WIB
Khairul Fahmi, Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS)
Foto: Dok. Istimewa


Faktanya, Singapura masih dalam keadaan utuh, bahkan menjadi negara maju pengguna teknologi mutakhir. Saya melihat, Singapura menggunakan nasihat-nasihat dari ahli strategi dan perang Tiongkok kuno yang bernama Sun Tzu. Singapura memainkan berbagai strategi spionase dan taktik pengikat agar negara lain berpikir dua kali untuk melakukan serangan. Singapura menempatkan dirinya sebagai variabel penting dalam hubungan negara-negara dunia yang sudah mengglobal.

Seperti kata Carl von Clausewitz, perang adalah kelanjutan dari politik dengan cara lain. Dia adalah politik yang berdarah-darah dan paling sulit diprediksi. Ia merupakan manifestasi dari buntunya diplomasi politik. Militer modern banyak terinspirasi oleh pemikiran Clausewitz. Maka kemudian perang, sistem pertahanan, dan perlindungan keamanan, bergerak dari yang awalnya bersifat alamiah/naluriah menjadi sistemik, terkelola, serta memiliki beragam infrastruktur, instrumen, dan teknologi artifisial.

Sedikit kembali pada kritik pertama, dugaan IKN akan menjadi New Beijing sepertinya menggunakan pemikiran Dimitriu. Ditakutkan, perusahaan-perusahaan multinasional yang terlibat dalam proyek IKN akan menyelipkan kepentingan, hingga yang paling ditakutkan adalah penguasaan. Namun sekali lagi, perang adalah kebuntuan diplomasi. Kita hanya perlu menjaga agar perusahaan-perusahaan multinasional itu tidak menabrak garis batasan.

Bagaimana pun, kepentingan kita dan mereka saling berikatan dalam proyek IKN. Sederhananya, bagaimana mungkin mereka mengancam investasi mereka sendiri. Kita hanya perlu memastikan, sudahkah kita menyiapkan batasan-batasan itu dengan baik? Melihat adanya berbagai asumsi dan kritik yang keliru, saya teringat dengan ahli logika bernama Irving Copi. Dalam bukunya yang saya baca dua tahun lalu, Copi menyebut, sering kali kritik menyasar objek yang salah. Yang fatalnya, sang pengkritik merasa objek itu adalah sasaran kritik yang sebenarnya.

Copi menyebut kekeliruan itu sebagai straw man fallacy atau kritik orangorangan sawah. Para pengkritik merasa sedang menghajar orang betulan, padahal mereka hanya memukul orang-orangan sawah. Mengganti Perdebatan Dari kekeliruan ini, kita perlu move on dengan mengganti diskursus ke arah yang lebih tepat. Daripada membahas serentan apa lokasi IKN, kita seharusnya membahas apakah pengamanan
IKN sudah dipersiapkan dengan sematang mungkin.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tidak bisa dinafikan juga, seperti kata Hans J. Morgenthau, negara-negara di dunia pasti memiliki kepentingan pribadi yang ingin mereka aktualisasi. Dengan adanya kontrak-kontrak dengan pihak luar, tidak menutup kemungkinan terdapat kepentingan-kepentingan yang diselipkan. Ini yang perlu diantisipasi dengan serius.

Undang-Undang IKN memerlukan berbagai regulasi pendukung dan turunan untuk menyiapkan sistem pertahanan yang ideal. Apalagi, dalam tahap pemindahan pertama sepanjang 2022-2024, infrastruktur yang dibangun adalah infrastruktur utama, seperti gedung kepresidenan dan gedung MPR/DPR. Maka konsekuensi dari pemindahan ibu kota di sektor pertahanan dan keamanan (hankam) adalah menyiapkan sebaik-baiknya sistem pertahanan keamanan yang pada saatnya nanti mampu melindungi ibu kota baru. Perumusan rencana strategi dan pembangunan sistem pertahanan ibu kota baru mestinya juga merupakan diskusi yang melibatkan para analis dan peramal yang detail, cermat, serta visioner dari berbagai sektor.

ADVERTISEMENT

Mulai dari analis militer hingga ahli anggaran. Ini bukan soal ancaman saja, tapi juga soal kemampuan pembiayaan. Perlu ada perhatian soal kemampuan menghadirkan sistem pertahanan yang memadai karena kemampuan anggaran kita tak cukup meyakinkan untuk menyiapkan yang ideal. Pertanyaannya perlu digeser dari "seberapa aman" menjadi "bagaimana mengamankan". Kita tidak bisa menghindari kerentanan, kita hanya perlu menyiapkan berbagai langkah preventif untuk menghadapi kerentanan tersebut.

"Qui desiderat pacem, bellum praeparat (siapa menginginkan perdamaian, bersiaplah untuk perang)," kata Flavius Vegetius Renatus, seorang ahli strategi militer Romawi.

Khairul Fahmi Pemerhati masalah pertahanan, Institute for Security and Strategic Studies (ISESS)


(zlf/zlf)

Hide Ads