Sosok Presiden Direktur PT DCI Indonesia, Otto Toto Sugiri menjadi wajah baru di deretan orang terkaya di Indonesia. Untuk mencapai kesuksesannya saat ini, Toto memiliki cerita khusus.
Siapa sangka, pria yang dijuluki 'Bill Gates-nya Indonesia' ini mengawali ini semua dengan berbohong kepada orang tuanya. Kok bisa?
Toto mengaku harus berbohong kepada orang tuanya saat akan masuk ke perguruan tinggi. Pendiri Sigma tersebut mengatakan ia sangat menyukai matematika dan ingin menjadi guru. Namun, cita-citanya itu tak mendapatkan restu dari orang tuanya. Toto saat itu diarahkan untuk menjadi seorang Dokter.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sama orang tua kita tidak perlu argue. Jadi mau mendaftar pilihan pertama kedokteran, pilihan kedua nego lagi matematika nggak boleh. Ya udahlah jadi insinyur saya masukkan elektro. Saya pikir elektro banyak matematikanya," katanya saat wawancara di kantor DCI Indonesia, dalam acara Ask d'Boss detikcom.
Hingga akhirnya, Toto pergi ke Jerman untuk mengikuti tes perguruan tinggi. Ternyata, nilai yang dihasilkan cukup untuk masuk ke jurusan kedokteran. Namun, Toto berbohong kepada orang tuanya. Dia hanya mengaku diterima di jurusan elektro.
"Di Jerman ujian tes dan lain-lain bagus hasilnya sebulan bisa dapat kedokteran. Tapi saya bilang aja nggak dapat, saya dapatnya elektro," ucapnya.
Kemudian, dia mengambil S2 jurusan informatika. Meski, saat masuk jurusan tersebut Toto belum terpikir akan menjadi apa setelah lulus.
"Jadi sempat bingung mau lulus ini, stop nggak diselesaikan dulu, sampai akhirnya nggak enak sama orang tua ditanyain kapan lulus sekolahnya," jelasnya.
Toto akhirnya kembali ke Indonesia setelah menyelesaikan kuliahnya di Jerman. Ia terpaksa pulang karena ibu yang sakit.
"Proses pulangnya nggak sengaja karena ibu saya sakit. Jadi saya pulang lihat sakitnya cukup parah saya lepas deh kerjaan di sana dan temani ibu saya berobat hampir setahun sampai ibu saya meninggal," katanya.
Memutuskan untuk berkarir di Indonesia, Toto mengaku sempat kesulitan mendapatkan kerja dengan latar belakang menjadi programmer. Saat itu tahun 1981 atau 1982 belum ada perusahaan yang membutuhkan progammer. Bahkan dia bilang hanya ada dua perusahaan di Jakarta yang memiliki komputer.