Bank Indonesia (BI) menyebut pertumbuhan ekonomi Indonesia tak akan terganggu dengan adanya penyebaran COVID-19 varian Omicron.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengungkapkan ekonomi RI masih bisa tumbuh lebih tinggi tahun ini. Asalkan ada kerja sama dan dukungan dari masyarakat untuk mematuhi protokol kesehatan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah.
Menurut Perry untuk mengatasi Omicron ini, masyarakat harus dilindungi, kesehatan harus dipulihkan yang ujungnya bisa memulihkan perekonomian.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia mengatakan, dampak Omicron kepada Pertumbuhan ekonomi kuartal I secara keseluruhan tidak akan berpengaruh signifikan. "BI memperkirakan pertumbuhan ekonomi pada 2022 ini akan terus meningkat dan kami sampaikan PE Indonesia 2022 akan lebih tinggi," jelas dia.
Hal ini disebabkan karena meningkatnya konsumsi masyarakat. Naiknya investasi dan banyaknya stimulus yang diberikan.
"4,7% sampai 5,5% itu adalah perkiraan kami dan untuk kuartal I masih tumbuh relatif tinggi," kata Perry dalam konferensi pers, Kamis (10/2/2022).
Sedangkan untuk ekonomi global diprakirakan berlanjut didukung oleh percepatan vaksinasi serta berlanjutnya kebijakan fiskal yang ekspansif.
Realisasi pertumbuhan ekonomi 2021 di Amerika Serikat (AS), Kawasan Eropa, dan Tiongkok menunjukkan perbaikan yang berlanjut. Perbaikan ekonomi di Jepang dan India juga diprakirakan terus berlangsung ditopang kebijakan moneter dan fiskal yang tetap akomodatif.
Pemulihan ekonomi yang berlanjut dikonfirmasi oleh kinerja sejumlah indikator pada Januari 2022 antara lain Purchasing Managers' Index (PMI), keyakinan konsumen, dan penjualan ritel yang tetap kuat, di tengah kenaikan penyebaran kasus COVID-19 varian Omicron
Dengan perkembangan tersebut, pertumbuhan ekonomi global 2022 diprakirakan sesuai dengan proyeksi sebelumnya sebesar 4,4%. Volume perdagangan dan harga komoditas global diprakirakan masih meningkat, sehingga menopang prospek ekspor negara berkembang.
Namun demikian, perekonomian global masih menghadapi ketidakpastian pasar keuangan yang meningkat sejalan dengan rencana percepatan kebijakan normalisasi negara maju, terutama AS dan Kawasan Eropa, sebagai respons peningkatan tekanan inflasi akibat gangguan rantai pasok dan kuatnya permintaan, kenaikan penyebaran COVID-19 varian Omicron, serta meningkatnya tensi geopolitik.
Hal tersebut berpotensi mengakibatkan terbatasnya aliran modal dan tekanan nilai tukar negara berkembang, termasuk Indonesia.
(kil/zlf)