Ketergantungan Kedelai Impor
Sebagai informasi, menurut Ketua Umum Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu (Gakoptindo) Aip Syarifuddin 90% kebutuhan kedelai untuk produksi tempe dan tahu dipenuhi dari kedelai impor. Makanya saat harga kedelai mahal, harga tahu dan tempe juga ikutan mahal.
"Dari 3 juta ton per tahun kebutuhan kedelai untuk tahu dan tempe, 90% itu impor. Produk lokal 300-400 ribu ton per tahun. Makanya harga kami ikuti global, jadi ya kalau dia mahal ya kami mahal," ungkap Aip kepada detikcom, Senin (14/2/2022).
Menurut Aip kedelai lokal bisa digunakan untuk memproduksi tahu dan tempe, tapi hal itu tidak memungkinkan. Alasannya, pertama karena jumlah produksi kedelai lokal jumlahnya tidak mencukupi kebutuhan para perajin.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia pun mendorong pemerintah, khususnya Kementerian Pertanian untuk mendorong produktivitas produksi kedelai lokal. Tak muluk-muluk, pihak Aip hanya meminta agar kedelai untuk kebutuhan pembuatan tahu bisa dipenuhi dari kedelai lokal.
Dari total 3 juta kebutuhan kedelai tahunan untuk perajin tahu dan tempe, kebutuhan untuk tahu sebesar 1 juta per tahun selebihnya adalah untuk tempe.
"Maka kami minta untuk tingkatkan hasil kedelai lokal. Kami sudah lobi Menteri Pertanian untuk meminta peningkatan kedelai lokal mencapai 1 juta ton, setidaknya buat penuhi kebutuhan tahu saja 1 juta ton," ungkap Aip.
Selain kurangnya ketersediaan kedelai, Aip juga mengatakan sejauh ini standardisasi hasil panen kedelai belum ada. Hasil panen kedelai lokal dinilai lebih jelek daripada yang impor, padahal kalau bicara kualitas kandungannya kedelai lokal lebih juara menurut Aip.
"Sekarang juga kedelai lokal ini yang ada pun kualitasnya jelek, kurang dibenahi. Kadang-kadang yang kita terima aja bisa terlalu tua terlalu muda. Pas dijual ke kami juga masih kotor, ada ranting, daun, tanah dibungkus kain sembarangan. Nggak ada standardisasi," sebut Aip.
"Padahal kalau kandungannya lebih bagus kedelai lokal, buat bikin tahu juga bagus buat kedelai lokal," ungkapnya.
(hal/ara)