Buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menolak Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang akan dirilis Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam waktu dekat. Pasalnya aturan itu merupakan turunan dari UU Omnibus Law Cipta Kerja.
"Serikat buruh menolak JKP karena dasar hukum JKP sudah kami tolak dari awal yaitu dasar hukumnya Omnibus Law," kata Presiden KSPI Said Iqbal dalam konferensi pers virtual, Selasa (22/2/2022).
Pemerintah dinilai melanggar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang melarang menerbitkan aturan turunan selama UU Cipta Kerja diperbaiki. Saat ini UU Cipta Kerja masih dibahas dan masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR di 2022.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"UU-nya sedang dibahas kok sekarang sudah diluncurkan (program dari aturan turunan). Ini berbahaya menurut pandangan kami, terjadi ketidaktaatan pada azas hukum. Bagaimana pertanggungjawaban tentang anggaran APBN yang informasi kami terima Rp 6 triliun sebagai dana awal? Seharusnya pemerintah menunggu dulu bagaimana proses pembahasan di DPR tentang UU Cipta Kerja," sebutnya.
Daripada program JKP, Said menyarankan adanya program asuransi pengangguran (unemployment insurance) untuk masyarakat yang kena pemutusan hubungan kerja (PHK). Program ini disebut lebih lazim secara Internasional sesuai konvensi ILO (Organisasi Perburuhan Internasional) tentang jaminan sosial.
"Kalau asuransi pengangguran, sumber pendanaannya jelas dan berkelanjutan bisa dari pajak-APBN, bisa juga melalui iuran pengusaha dan buruh saat bekerja," tuturnya.
Said menilai sumber pendanaan JKP tidak jelas lantaran berasal dari rekomposisi iuran Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) sebesar 0,14% dan iuran Jaminan Kematian (JKm) yang direkomposisi sebesar 0,10%. Aturan itu dinilai bersifat kriminal.
"Direksi BPJS terancam 8 tahun dipenjara bilamana menggunakan subsidi silang atau dalam UU Omnibus Law disebut rekomposisi. Jadi kami tolak rekomposisi," imbuhnya.
(aid/ara)