Negeri Tirai Bambu, China, saat ini tengah menghadapi "bom waktu" demografis yang dapat membahayakan kondisi perekonomiannya. Secara umum hal ini terjadi lantaran populasi lansia terus meningkat sementara tenaga kerjanya semakin kecil karena adanya penurunan kelahiran.
Dengan kata lain, saat ini jumlah pekerja yang mencapai usia pensiun lebih banyak dibanding jumlah pekerja baru yang dapat mengisi kekosongan pekerjaan yang ditinggalkan para pensiunan ini. Hal ini disebabkan sebagian karena kebijakan satu anak yang berlaku selama sekitar empat dekade, sebelum akhirnya dihapus pada 2016.
Melansir dari Reuters, Selasa (22/2/2022), saat ini tingkat kelahiran China Daratan turun ke rekor terendah pada tahun 2021. Hal ini memperpanjang tren penurunan angka kelahiran yang menyebabkan Beijing tahun lalu mulai mengizinkan pasangan untuk memiliki hingga tiga anak.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Adapun upaya yang dilakukan oleh pemerintahan Xi Jinping ini dimaksudkan untuk mencoba menghindari risiko ekonomi dari populasi yang menua dengan cepat. Namun untuk saat ini biaya hidup perkotaan yang tinggi telah menghalangi pasangan untuk memiliki lebih banyak anak.
"Tantangan demografis sudah diketahui tetapi kecepatan penuaan populasi jelas lebih cepat dari yang diperkirakan," kata Zhiwei Zhang, kepala ekonom di Manajemen Aset Pinpoint.
"Ini menunjukkan total populasi China mungkin telah mencapai puncaknya pada tahun 2021. Ini juga menunjukkan potensi pertumbuhan China kemungkinan akan melambat lebih cepat dari yang diharapkan," kata Zhang.
Tentunya bila "bom waktu" demografis ini tidak segera diatasi, maka hal ini dapat membawa masalah pada kondisi ekonomi negara tersebut. Jadi guna mengatasi permasalahan ini pemerintah China telah mengeluarkan sejumlah kebijakan sebagai salah satu bentuk siasat.