Jakarta -
Sekretariat Nasional Jaringan Organisasi Komunitas Warga Indonesia pendukung Jokowi (Seknas-Jokowi) memberikan pesan, masalah tempe dan tahu bukan perkara sepele. Sekretaris Dewan Pakar Seknas Jokowi Todotua Pasaribu menegaskan ada banyak keluarga yang bergantung pada produksi tempe dan tahu.
"Hal yang paling diwaspadai, hilangnya kepercayaan rakyat kepada pemerintah. Masalah tempe tahu bukan perkara sepele, tapi ini persoalan politik dan kedaulatan pangan, masalah perut rakyat, masalah kehadiran negara di tengah-tengah rakyat. Singkatnya ada sekian banyak keluarga, yang hidupnya tergantung pada produksi tempe, sejak dari hulu sampai ke hilir," ujarnya, dalam keterangan resmi, dikutip Rabu (23/2/2022).
Jadi, kelangkaan tempe dan tahu harus segera diatasi pemerintah. Pasalnya, kedua kuliner itu lauk jadi andalan sehari-hari masyarakat umum, terutama yang berpenghasilan minim dan pas-pasan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain murah, kedua kuliner ini bergizi tinggi. Tak heran saat belakangan ini kedua kuliner itu hilang di pasaran, masyarakat, terutama Ibu-ibu resah dan mulai gaduh.
"Bagi warga yang memiliki kelonggaran dana, bisa saja mencari alternatif lauk lain, namun bagi warga berpenghasilan pas-pasan, bukan perkara mudah untuk mencari lauk pengganti tempe dan tahu," ujarnya.
Bersambung ke halaman selanjutnya.
Persoalan tempe dan tahu juga menjadi sangat penting karena para pengrajin juga telah melakukan mogok produksi selama tiga hari dari 21-23 Februari. Aksi mogok produksi terpaksa dilakukan akibat harga kedelai naik sehingga menyebabkan perajin rugi.
Merujuk data Asosiasi Kedelai Indonesia (Akindo) sejak 11 Februari ditetapkan harga kedelai Rp 11.500 - Rp 12.000 per kilogram, dari sebelumnya dalam kisaran Rp 8000. Saat sejumlah relawan Seknas Jokowi survei langsung ke pasar tradisional di seputaran Jabodetabek, harga kedelai bisa mencapai Rp15.000-Rp18.000 per kilogram.
"Aksi mogok adalah merupakan jeritan nurani para perajin tempe sekaligus semacam sosialisasi kepada penggemar tempe dan tahu, kelangkaan dan kenaikan harga kedua makanan ini karena pemerintah tidak bisa menjaga stabilitas harga bahan pokok kedelai. Jadi agar pemerintah tanggap," jelas Todotua.
Terkait hal itu, Todotua meminta agar pemerintah dan pemangku kepentingan terkait segera melakukan komunikasi untuk mencari titik temu mengatasi naiknya harga tempe agar tidak berlarut-larut.
"Perlu diambil kebijakan lintas kementerian soal kebijakan budidaya kedelai lokal dan impor kedelai oleh Kementan dan Kemendag agar ada koordinasi yang lebih solid. Selain itu, sebaiknya pengadaan kedelai jangan dilepas ke perdagangan bebas, perlu ada proteksi dari pemerintah agar harga kedelai stabil, mengingat tempe adalah makanan "sejuta umat," ujarnya.
Kenaikan kedelai yang berimbas pada mogoknya produksi tahu tempe mempunyai efek domino yang besar. Selain menambah beban masyarakat karena kehilangan sumber protein murah, banyak perajin harian tahu tempe, penjual daun pisang, pedagang eceran dan lainnya kehilangan sumber pendapatan.
Pihaknya juga mendorong adanya terobosan kebijakan dan teknologi (pertanian) agar Indonesia bisa menghasilkan varietas kedelai lokal dengan produktivitas tinggi, mengingat kebutuhannya memang tinggi untuk produksi tempe dan tahu.
"Menjadi tugas dan tanggung jawab Badan Pangan Nasional, Kementan, BRIN, kampus-kampus teknologi pangan dan pertanian untuk menemukan inovasi bidang pangan pertanian dan pemerintah menjaga stabilitas harga, selain merumuskan strategi dan kebijakan terkait pengadaan kedelai," tegas Todotua.