Biang Kerok Truk 'Obesitas' Masih Berkeliaran Terungkap! Ini 3 Faktanya

Biang Kerok Truk 'Obesitas' Masih Berkeliaran Terungkap! Ini 3 Faktanya

Herdi Alif Al Hikam - detikFinance
Kamis, 24 Feb 2022 21:00 WIB
Petugas gabungan menggelar operasi over dimensi overload di Tol JORR W2 Utara. Hingga pukul 10.41 WIB, lebih dari 20 dump truck ditilang oleh petugas.
Ilustrasi/Foto: Rifkianto Nugroho
Jakarta -

Pengemudi truk di seluruh Indonesia memprotes aturan larangan truk 'obesitas'. Truk over dimension and over load alias ODOL rencananya dilarang secara penuh pada 2023.

Truk obesitas jadi andalan logistik di Indonesia. Dirjen Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Budi Setiyadi mengungkapkan sejumlah fakta yang jadi biang kerok yang bikin truk ODOL merajalela di jalanan. Apa saja?

Berikut tiga fakta truk 'obesitas':


1. Tarif Tidak Sesuai

Budi mengungkapkan penetapan tarif yang tidak sesuai menjadi biang kerok utama truk ODOL masih merajalela.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut Budi, sebetulnya angkutan truk di Indonesia bagaikan dipaksa berubah menjadi truk ODOL. Hal itu disebabkan oleh sistem penetapan tarif angkutan barang yang tidak sesuai.

Tarif angkutan barang dengan truk 'obesitas' lebih besar dan layak, daripada tarif angkutan barang dengan truk dengan ukuran yang sesuai aturan.

ADVERTISEMENT

"Ada gambaran tarif tidak sesuai dengan kondisi saat ini. Jadi tarif yang ada kalau diangkut dengan truk yang tidak overdimensi mungkin tarifnya tidak kompetitif dan tidak menarik. Ini kemudian yang dilakukan pengemudi mengangkut barang melebihi kapasitas," ungkap Budi dalam konferensi pers virtual, Kamis (24/2/2022).

"Jadi tarif ini agak memaksa ya para pengemudi untuk mengangkut barang itu berlebihan," imbuhnya.

2. Sistem Tarif

Sejauh ini menurutnya, pembentukan tarif angkutan barang di Indonesia menganut sistem tonase alias kuantitas barang bawaan. Bukan menganut sistem ritase atau jumlah dan jauh perjalanan.

"Banyak komoditas logistik yang ada di kita, tarifnya itu bukan dari ritase namun tonase," ujar Budi.

Budi mengatakan para pengemudi meminta perluasan tanggung jawab kepada pemilik barang dalam aturan hukum, hal itu dilakukan lewat revisi UU Jalan no 22 tahun 2009. Pasalnya, yang membuat truk 'obesitas' adalah pemilik barang.

"Karena dia (pemilik barang) kadang minta bawa barang 40 ton kepada pengemudi, namun berat maksimal 30 ton ada pelanggaran 10 ton. Tapi pemilik barang tetap memaksa mengangkut itu. Di UU 22 tidak bisa jangkau," ungkap Budi.

"Betul yang disampaikan asosiasi pengemudi perlu perluasan pelanggaran overloading, bukan cuma pengemudi namun pemilik barangnya," lanjutnya.

Truk 'obesitas' tidak bisa diatur. Berlanjut ke halaman berikutnya.

3. Pemerintah Tak Bisa Atur

Lalu, memangnya pemerintah tak bisa mengatur sistem penarifan pada angkutan barang seperti transportasi umum yang lain? Budi mengatakan tidak bisa.

Hal itu karena jenis angkutan logistik yang terlampau banyak di Indonesia. Baik dari bentuk angkutannya maupun bentuk barangnya. Akan sulit menggolongkan tarif logistik.

"Pada prinsipnya, kami tak bisa atur tarif logistik ini. Karena terlampau banyak namanya logistik itu, berbagai macam bentuknya dan barangnya, dari yang curah dan sebagainya," ujar Budi.

Meski begitu, menurut Budi pemerintah sebenarnya sudah pernah mengeluarkan satu skema hitung-hitungan tarif logistik. Di dalamnya dijelaskan komponen apa saja yang harus dihitung, namun hal itu bukan kewajiban.


Hide Ads