Kebijakan pengendalian harga dan pasokan minyak goreng dinilai masih semrawut. Kebijakan kewajiban pasok dalam negeri atau domestic market obligation (DMO) yang dibarengi dengan penetapan harga atau domestic price obligation (DPO) minyak sawit dinilai keliru.
Direktur HRD and Legal PT Sumi Asih Markus Susanto mengatakan ada solusi lain untuk mengatasi permasalahan minyak goreng dibanding DMO dan DPO.
Dia mengusulkan daripada kebijakan DMO dan DPO, lebih baik pengekspor dikenakan pajak ekspor atau levy.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dengan tambahan US$ 20 dollar atas minyak goreng, saya kira pengusaha tidak akan keberatan. Toh ini kan hanya sementara. Kalau misalnya harga CPO (Crude Palm Oil) sudah balik normal lagi, itu bisa dihapus," katanya kepada detikcom, Minggu (13/3/2022).
Secara pelaksanaan pun tidak rumit. Pasalnya persoalan minyak goreng tidak seperti BBM yang dipegang satu pihak, Pertamina untuk distribusinya, sedangkan minyak goreng dipegang lebih dari satu pihak.
"Kalau kita mau kontrol satu persatu itu nggak mudah, pemainnya banyak," ujar Markus.
Markus menegaskan usulan ini tidak dikenakan hanya untuk pengekspor CPO, sedangkan turunannya tidak dikenakan.
"Jadi, jangan semua. kalau semua nanti, waduh, kita malah jadi nggak bersaing di pasar ekspor nanti," terangnya.
Lebih lanjut, Markus menambahkan, peraturan yang sekarang ada, selain membebani semua pihak, tidak hanya pemain CPO tapi turunanya, juga terdapat aturan menyediakan 20% kebutuhan untuk dalam negeri. Dengan begitu mereka diharuskan menjual dengan harga yang tidak sebanding.
Sebagai contoh, PT Sumi Asih harus memenuhi kewajiban DMO, pihaknya harus membeli CPO atau olein dengan harga pasar yang saat ini harganya Rp20.500 per kilogram (kg). Lalu pihaknya mesti jual minyak goreng dengan harga yang ditentukan pemerintah Rp10.300 per kg. Artinya ada selisih sebesar Rp 10.200 per kg.
Bersambung ke halaman selanjutnya.