5 Fakta Kritik Keras ke Pemerintah Setelah HET Minyak Goreng Dicabut

5 Fakta Kritik Keras ke Pemerintah Setelah HET Minyak Goreng Dicabut

Herdi Alif Al Hikam - detikFinance
Minggu, 20 Mar 2022 08:10 WIB
Warga membeli minyak goreng kemasan di minimarket, Aren Jaya, Kota Bekasi, Jawa Barat, Jumat (18/3/2022).
Foto: Agung Pambudhy
Jakarta -

Pemerintah telah membuat kebijakan baru soal minyak goreng. Kali ini harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng kemasan dicabut dan harga dilepas ke skema mekanisme pasar.

Hasilnya, harga minyak goreng kemasan sendiri menjadi makan mahal, meski memang pasokannya lebih lancar sampai ke konsumen. Misalnya saja, minyak goreng kemasan premium yang tadinya memiliki HET Rp 14.000 per liter, kini harganya sudah mencapai Rp 24.000-an per liter.

Di sisi lain, HET tetap diberikan pemerintah untuk minyak goreng jenis curah. Besarannya pun naik, tadinya Rp 11.500 per liter, kini HET menjadi Rp 14.000 per liter.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kebijakan pemerintah yang akhirnya melepas harga minyak goreng ke mekanisme pasar ini mendapat kritik keras. Seperti apa?

1. Pemerintah Bertekuk Lutut pada Pasar

Menurut Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi kondisi ini menunjukkan pemerintah telah menyerah ke mekanisme pasar setelah masyarakat dibuat bagaikan menjadi kelinci percobaan.

ADVERTISEMENT

Dia menyatakan pemerintah bagaikan bertekuk lutut pada mekanisme pasar dalam rangka memasok kebutuhan pokok minyak goreng ke masyarakat.

"Pemerintah seperti bertekuk lutut dalam memasok minyak goreng ke konsumen. Kami melihat masyarakat ini seperti kelinci percobaan, pemerintah coba kebijakan a, b, c, dan akhirnya gagal. Klimaksnya akhirnya pemerintah gagal dan menyerah pada market mechanism," ungkap Tulus dalam sebuah diskusi virtual bersama MIPI, Sabtu (19/3/2022).

Ketika aturan HET dilepas, bahkan aturan kewajiban DMO dan DPO di tingkat produsen juga dilepas, baru lah minyak goreng membanjiri pasar.

"HET dilepas, DMO dan DPO juga dilepas. Akhirnya, kemudian harga minyak goreng dilepas ke pasar dan baru banjiri kita setelah langka. Tapi harganya jadi mahal," ujar Tulus.

2. Presiden Belum Turun Tangan

Tulus pun heran mengapa sampai saat ini setelah gonjang ganjing besar di tengah masyarakat, Presiden Joko Widodo nampak diam saja. Menurutnya, Presiden tidak banyak turun tangan dan mengambil langkah signifikan ke masalah minyak goreng.

Menurutnya, masalah minyak goreng di Indonesia sudah masuk ke ranah kartel. Maka dari itu seharusnya Presiden mengambil langkah strategis.

"Ini juga aneh kalau gonjang ganjing begini Pak Presiden biasanya turun tangan, tapi saya lihat Presiden belum turun tangan, belum bicara signifikan soal fenomena ini. Kalau sudah bicara kartel dan mafia ini levelnya harusnya Presiden memang," papar Tulus.

"Tapi dalam hal ini Presiden seolah-olah jadikan Mendag bemper," ucapnya.

Tulus bilang, ada 3 komoditas yang tidak bisa disentuh pemerintah. Kelapa sawit yang jadi bahan baku minyak goreng masuk ke salah satunya, dua lainnya adalah tembakau dan batu bara. Hal itu karena di lingkaran bisnis ini terdapat banyak pengusaha kuat yang juga memiliki koneksi ke pemerintahan.

Dia pun curiga apakah Presiden Jokowi mencoba melindungi mereka, pasalnya sejauh ini Presiden bagaikan diam saja.

"Komoditas ini libatkan oligarki kuat di Parpol, eksekutif, legislatif. Kenapa Presiden diam? Jadi tanda tanya besar juga," ungkap Tulus.

3. Minyak Curah Jadi Rebutan

Tulus menyatakan kini muncul disparitas harga yang sangat besar di pasar. Antara minyak goreng curah yang masih diberikan HET sebesar Rp 14 ribu per liter dan minyak goreng kemasan dengan harga sesuai pasar yang sudah mencapai Rp 24 ribuan per liter.

Hal ini bisa memicu berpindahnya konsumen minyak premium ke minyak curah. Bahayanya, hal ini berpotensi membuat masyarakat kecil harus berebut minyak goreng murah dengan kalangan yang lebih mampu. Ujungnya, minyak goreng curah tetap akan sulit didapatkan.

Menurut Tulus kalau sudah begini kisahnya akan sama seperti yang terjadi pada tata niaga gas LPG. Kala masyarakat kelas menengah atas ikut menggunakan LPG melon 3 kg yang disubsidi karena ada disparitas harga tinggi dengan LPG non subsidi.

"Saya khawatir kelompok premium turun kelas ke minyak goreng curah, padahal itu untuk masyarakat kecil. Ini memang wajar terjadi. Sama seperti yang terjadi di gas Elpiji melon, banyak konsumen non subsidi itu turun kelas jadi konsumen gas melon," jelas Tulus.

Menurutnya, kualitas minyak goreng curah dan kemasan tak jauh berbeda, namun minyak goreng harganya jauh lebih murah. Insting konsumen akan mencari ke yang lebih murah.

"Kan kualitas minyak gorengnya sama, barangnya sama, tapi yang curah harga lebih murah. Konsumen pasti akan cari yang lebih murah instingnya. Yang masyarakat kecil pakai minyak apa kalau begini," terang Tulus.

4. Ancaman Minyak Oplosan

Tulus juga mengatakan disparitas harga minyak goreng yang terjadi kala HET dicabut dapat memicu munculnya minyak oplosan. Akan muncul minyak goreng kemasan tapi isinya adalah minyak curah di pasar, sehingga pengoplos minyak ini masih bisa untung dari selisih harga yang ada.

Dengan begitu, kemungkinan minyak curah yang memang diperuntukan untuk masyarakat kelas menengah ke bawah akan tetap langka.

"Harus diwaspadai juga dengan ada kebijakan ini soal HET dicabut, itu akan memicu anomali salah satunya adalah minyak goreng oplosan. Jadi minyak subsidi yang curah itu dioplos jadi minyak kemasan kan harganya lebih mahal, dan untungnya lebih besar," papar Tulus.

Modus oplosan lainnya adalah menjual minyak goreng jenis curah dengan mengolah kembali minyak goreng jelantah alias minyak bekas pakai.

"Anomali lain, minyak curah abal-abal dibuat dari minyak jelantah dan diolah kembali jadi minyak kemasan dan dijual seolah-olah minyak baru," ungkap Tulus.

5. Istana Buka Suara

Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden RI Edy Priyono menegaskan kebijakan soal minyak goreng yang diambil pemerintah adalah cara untuk menjaga keseimbangan pasar. Menurutnya kebijakan ini adalah wujud kepedulian pemerintah terhadap kebutuhan minyak goreng masyarakat, di sisi lain juga menjaga keberlangsungan industri minyak goreng dalam negeri.

"Pemerintah di satu sisi sangat peduli terhadap kebutuhan masyarakat, tapi di sisi lain pemerintah menyadari industri ini harus berjalan terus. Jadi bapak Presiden ingin menjaga keseimbangan ini, yakni menjaga kepentingan masyarakat dan produsen," kata Edy dalam keterangannya.

Edy mengakui, tidak mudah dalam melakukan pelaksanaan kebijakan baru terkait minyak goreng tersebut. Sebab, pemerintah juga harus memastikan ketersediaan pasokan minyak goreng curah agar tidak terjadi kelangkaan di pasaran. Terlebih dengan keluarnya kebijakan tersebut, akan membuka peluang pengguna minyak goreng kemasan beralih ke curah.

Dia juga mengakui potensi terjadinya kebocoran pada distribusi juga akan semakin besar. Hal itu, membutuhkan pengawasan yang lebih maksimal, agar pemberian subsidi atas minyak goreng curah bisa tepat sasaran.

"Tantangannya memang sangat besar, Tapi pemerintah sudah menyiapkan berbagai skenario agar implementasi kebijakan tersebut berjalan dengan baik di lapangan," kata Edy.

KSP bersama Kemendag, Kemenperin, dan Satgas Pangan, menurut Edy akan langsung terjun ke lapangan untuk mengawal kebijakan soal minyak goreng ini.



Simak Video "Harga Minyak Goreng di Minimarket Kembali Mahal, Stoknya Masih Langka"
[Gambas:Video 20detik]

Hide Ads