Jakarta -
Kelangkaan minyak goreng di Indonesia mendapat perhatian khusus media asing. Bahkan hal itu diberitakan sebagai fenomena yang diberi judul 'Indonesia, the world's biggest producer, has a palm-oil crisis' atau Indonesia, negara produsen terbesar dunia mengalami krisis minyak sawit.
Media The Economist secara khusus menggambarkan kelangkaan minyak dengan peristiwa yang terjadi Maret lalu yang terjadi pada ibu satu anak asal Jawa Tengah, Izawati Dewi yang mengantre dari subuh untuk mendapatkan minyak goreng.
Selain itu, peristiwa meninggalnya dua ibu rumah tangga karena mengantre minyak goreng di Kalimantan Timur yang merupakan tempat penghasil hampir dua perlima minyak sawit Indonesia juga diberitakan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kebijakan Pemerintah Indonesia yang sempat membatasi harga eceran tertinggi (HET) Rp 14.000 per liter untuk minyak goreng kemasan dan Rp 11.500 per liter untuk minyak goreng curah tak lepas dari pemberitaan.
Tak ayal dalam semalam, rak-rak di berbagai pasar dan ritel kosong di berbagai daerah di Indonesia. Saat minyak goreng sawit kosong, kebanyakan orang Indonesia kehilangan akses karena minyak nabati impor merupakan barang mewah yang tak terjangkau.
Namun, pada saat kebijakan HET minyak goreng kemasan dicabut, secara ajaib minyak goreng kemasan muncul kembali. Namun kini, harga naik lebih dari tiga kali lipat.
Kelangkaan minyak goreng disorot Ombudsman RI. Cek halaman berikutnya.
Anggota Ombudsman Yeka Hendra Fatika, menjelaskan kenaikan harga terjadi karena beberapa faktor, termasuk perang di Ukraina dan pandemi COVID-19.
Pada Februari, harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) telah melonjak sebesar 40% year on year (yoy). Dengan harapan dapat menekan harga eceran komoditas, pemerintah pada Januari memberlakukan kewajiban pasar domestik (DMO) 20% untuk semua produsen.
Tetapi, hanya berlangsung sebulan, setelah pemasok menolak dengan keras, pemerintah menghapus DMO, demi mengenakan pungutan ekspor yang lebih tinggi pada CPO.
Minyak goreng di bawah skema DMO awal dijual dengan harga tetap, yang menurut produsen menyulitkan untuk menutupi biaya produksi.
"Perbedaan besar antara harga CPO dan DMO lah yang mengakibatkan pembelian panik dan penimbunan yang terjadi," terang Yeka dikutip dari The Economist, Senin (4/4/2022).
Arie Rompas dari Greenpeace Indonesia menilai pemerintah harus mengejar oligarki industri yang sering menimbun pasokan. Pada 2019, Indonesia memproduksi 47,1 juta ton CPO, di mana 76% di antaranya diekspor.
Sementara itu, Eddy Hartono dari Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mengatakan 20% DMO awal mestinya sudah melebihi permintaan lokal. Oleh karena itu, ia menduga minyak hilang sepanjang rantai distribusi.
Pernyataan mantan Presiden Megawati Sukarnoputri juga menjadi sorotan. Dalam webinar ia mengatakan apakah tidak ada cara memasak dengan merebus. Hal itu mendapat reaksi keras dari warganet.