Baju baru, Alhamdulillah. Tuk dipakai di hari Raya. Penggalan lirik lagu yang dinyanyikan artis Dhea Ananda ini akrab di telinga kita, apalagi pada momen Ramadan hingga jelang Lebaran.
Boleh dibilang membeli busana baru untuk momen Lebaran menjadi tradisi mendarah daging bagi umat Muslim di Indonesia. Nah, jika menelisik ke belakang, bagaimana awal mula tradisi tersebut muncul?
Ternyata, membeli pakaian baru untuk Lebaran sudah berlangsung lama di Indonesia. Melansir Historia.id, Penasihat Urusan Pribumi untuk Pemerintah Kolonial Belanda, Snouck Hurgronje mencatat kebiasaan ini dimulai pada awal abad ke-20.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Di mana-mana perayaan pesta ini disertai hidangan makan khusus, saling bertandang yang dilakukan oleh kaum kerabat dan kenalan, pembelian pakaian baru, serta berbagai bentuk hiburan yang menggembirakan," tulis Snouck dalam suratnya yang termuat dalam "Nasihat-Nasihat Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936 Jilid IV".
Dalam buku "Islam di Hindia Belanda", Snouck juga menyatakan kebiasaan bertamu dengan mengenakan pakaian serba baru mirip dengan tradisi perayaan tahun baru Eropa.
Tradisi baju Lebaran pada masa itu sudah menghinggapi para pejabat dan rakyat jelata ketika itu. Dalam "Sarung, Jubah, dan Celana: Penampilan sebagai Sarana Pembeda dan Diskriminiasi" yang termuat dalam Outward Appearances, Kees van Dijk menuliskan pejabat sekelas Bupati berpenampilan dengan pakaian pribumi berupa kain ketat atau pantalon berenang emas bergaya Eropa.
Sedangkan rakyat jelata modenya mengikuti gaya berpakaian Arab atau India. Namun seiring berjalannya waktu pakaian bagi rakyat jelata mulai memiliki banyak pilihan.
Rakyat jelata mulai berpakaian Barat, mengikuti kemengaran para polisi. Harian De Locomotief menjelaskan, saat rakyat jelata mempunyai banyak pilihan itu, industri tekstil di Hindia Belanda tumbuh.
Pada masa penjajahan Jepang, kebiasaan membeli baju baru jelang Lebaran agak tersendat Masa ini rakyat jelata mempunyai cukup uang, tapi barang-barang menjadi sangat langka.
"Produksi terus digenjot untuk memenuhi keperluan militer Jepang, bahan pangan di pasar banyak menghilang, rakyat digerakkan untuk kerja paksa, bahkan pakaian disita," ungkap Thomas J. Lindblad dalam "Krisis Ekonomi dalam Sejarah Indonesia Abad ke-20", termuat dalam Dari Krisis ke Krisis: Masyarakat Indonesia Menghadapi Krisis Ekonomi Selama Abad 20.
Namun, setelah Indonesia merdeka, keadaan membaik. Tradisi membeli dan mengenakan baju baru terus berlanjut hingga sekarang.