Seperti diketahui, mudik telah jadi tradisi setiap tahun bagi masyarakat Indonesia. Mereka yang merantau di perkotaan berbondong-bondong pulang ke kampung halaman untuk merayakan Lebaran bersama sanak saudara.
Berbeda dengan pulang kampung, yang bisa dilakukan kapan saja tanpa menunggu momen. Guru Besar Linguistik dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa) Prof. Dr. Kisyani Laksono, M. Hum mengatakan pengertian mudik yakni hanya dilakukan di tengah peringatan hari raya.
"Dari segi sifat, pulang kampung bersifat individual tetapi istilah mudik sifatnya massal," kata Prof Kisyani kepada detikcom, ditulis Minggu (24/4/2022).
Aktivitas pulang kampung dapat ditelusuri hingga era Batavia, pemerintahan kolonial Hindia-Belanda. Sejarawan lulusan Universitas Indonesia (UI) JJ Rizal mengidentifikasi tradisi mudik dengan aktivitas di Batavia, di mana saat itu sudah membutuhkan banyak tenaga kerja sejak dua abad silam.
Maraknya mudik juga dipengaruhi oleh perpindahan ibu kota Indonesia dari Yogyakarta ke Jakarta. Perpindahan ibu kota yang diikuti dengan pembangunan besar-besaran, membuat masyarakat banyak yang merantau.
Lonjakan jumlah penduduk yang berasal dari daerah luar Jakarta terjadi karena banyak masyarakat berharap masa depan cerah saat ada di ibu kota. Dari situ ada momen di mana mereka rindu dengan keluarganya di kampung, saat itu lah mereka melakukan aktivitas mudik.
Semakin gencar dan sukses proyek pembangunan di Jakarta, semakin banyak buruh-buruh dari pelosok desa datang ke Jakarta. Banyaknya jumlah pendatang ke Jakarta berbanding lurus dengan kehebohan mudik tiap Lebaran.
"Mudik adalah tradisi kota, timbul bersama munculnya kota-kota di Indonesia. Berita yang ada kebanyakan ketika muncul kota-kota masa kolonial di Indonesia dan gejala urbanisasi pada abad 19 (1801-1900). Ada jarak kota dengan desa yang sering disebut udik. Jadilah kembali ke desa disebut mudik," terang Rizal.
Rizal menjelaskan gencarnya aktivitas mudik baru dimulai di era Orde Baru. Saat periode Gubernur Jakarta Ali Sadikin (1966-1977), mudik berkembang menjadi tradisi besar.
"Karena menyangkut perpindahan orang dari desa ke kota yang semakin besar dan berimplikasi luas bagi banyak hal, mulai dari transportasi sampai kriminalitas. Ini terutama setelah masa Ali Sadikin, ketika posisi warga asli, yakni Betawi, bukan lagi nomer satu, digantikan urban Jawa, Sunda, dan lain-lain," tutur Rizal.
Peneliti senior The Wahid Institute, Rumadi Ahmad dalam tulisannya di kolom detikcom menjelaskan, dalam Idul Fitri juga ada tradisi halalbihalal, yang merupakan tradisi khas Islam Nusantara.
Meski menggunakan struktur bahasa Arab, kata ini tidak dikenal di dunia Arab. Meski tradisi saling memaafkan merupakan ajaran Islam, pengemasan dalam aktivitas yang disebut halalbihalal merupakan karya khas muslim Nusantara.
(aid/zlf)