Menurut Ahmad Luthfi, perbuatan RN sangat merugikan masyarakat. Minyak goreng curah yang harusnya dibeli dengan murah justru dijual dengan harga premium.
"Dia memalsukan barcode dan izin edar. Artinya, minyak ini seharusnya minyak curah, (tapi) dialihkan menjadi minyak kemasan," terang Ahmad Luthfi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ada sejumlah kejanggalan pada minyak goreng kemasan di gudang tersebut. Pertama, barcode di kemasan minyak goreng itu tak sesuai dengan yang terdaftar alias palsu.
"Kedua, labelnya seharusnya warna merah, (tapi) di minyak ini warna hitam. Di dalamnya ada sertifikasi halal, tapi pelaku tidak bisa menunjukkan sertifikat halal itu sendiri," ujar Ahmad Luthfi.
Selain itu, hasil uji laboratorium juga tidak menemukan kandungan Omega 9 dan 6 seperti yang tertulis pada kemasan minyak goreng itu.
Di sisi lain, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (Gimni) Sahat Sinaga pernah membagikan cara untuk membedakan minyak goreng kemasan asli dengan yang abal-abal. Hal itu diungkap Sahat dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi IV, Rabu (30/3/2022) silam.
Yang pertama perlu dicek, menurut Sahat, adalah minyak goreng kemasan asli pasti memiliki sertifikat SNI dan juga izin BPOM yang tercantum di kemasannya. Masyarakat bisa langsung mengeceknya.
"Pertama dia punya barcode nggak, ada SNI atau tidak. Kalau tidak ada SNI, barcode, dan izin BPOM sudah pasti bocoran, abal-abal," papar Sahat.
Kedua, secara fisik sangatlah mudah membedakan minyak goreng kemasan asli dengan yang abal-abal. Menurutnya minyak goreng abal-abal akan cepat berkabut dan berembun di kemasan dalamnya. Apalagi, bila diletakkan di suhu yang dingin.
"Secara fisik visual itu bisa dilihat bahwa minyak goreng curah kalau agak dingin itu akan berkabut, beruap. Jadi kelihatan kalau dia curah dijadikan kemasan," ungkap Sahat.
(hal/hns)