Sri Lanka Pernah Merdeka Sebelum Bangkrut, Ini Sumber Pendapatannya

Sri Lanka Pernah Merdeka Sebelum Bangkrut, Ini Sumber Pendapatannya

Anisa Indraini - detikFinance
Minggu, 26 Jun 2022 13:00 WIB
Sri Lanka dilaporkan gagal bayar utang. Krisis ekonomi tak berkesudahan memicu antrean panjang warga yang hendak membeli minyak tanah dan gas. Ini penampakannya
Foto: AP Photo/Eranga Jayawardena
Jakarta -

Sri Lanka bangkrut dan kondisi ekonominya benar-benar runtuh. Negara yang dipimpin Gotabaya Rajapaksa itu gagal bayar utang luar negeri (ULN) sebesar US$ 51 miliar atau Rp 754,8 triliun (kurs Rp14.800).

"Kami sekarang melihat tanda-tanda kemungkinan jatuh ke titik terendah," kata Perdana Menteri Sri Lanka Ranil Wickremesinghe dikutip dari Bloomberg, Minggu (26/6/2022).

Sebelum diterpa kebangkrutan, Sri Lanka merupakan negara yang merdeka dari Inggris pada 1948 dan merupakan anggota negara-negara persemakmuran. Dilansir dari laman resmi Kementerian Luar Negeri RI, Negara di Asia Selatan itu dikenal dengan nama Ceylon sampai tahun 1972.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sri Lanka adalah negara pulau di pesisir tenggara India yang luasnya hanya 65.610 km2, kurang lebih hanya sebesar provinsi Jawa Barat ditambah Jawa Tengah. Dari sekitar 22 juta penduduk, 75% adalah Suku Sinhala yang mayoritas beragama Budha.

Etnis kedua adalah Tamil, sekitar 18% dan mayoritas beragama Hindu. Sisanya adalah muslim (7%) yaitu etnis Moor yang keturunan Arab dan muslim keturunan Melayu, etnis Burgher yaitu keturunan Eropa (1%) dan Wanniyala Aetto atau Vedda yaitu keturunan penduduk asli Sri Lanka yang saat ini jumlahnya semakin langka.

ADVERTISEMENT

Tulang punggung ekonomi Sri Lanka adalah ekspor produk pertanian. Negara ini merupakan pengekspor teh terbesar kedua di dunia setelah Tiongkok dengan nilai ekspor rata-rata US$ 1,35 miliar per tahun atau 16,84%.

Komoditi ekspor lainnya adalah tekstil dan produk garmen, rempah-rempah, hasil laut, karet dan produk olahannya, kelapa dan produk olahannya, serta berbagai jenis batu mulia: safir, mirah delima, berlian, zamrud, giok, biduri laut, akik, opal dan sebagainya.

Produksi karet Sri Lanka mencapai 36% dari produksi karet dunia dan produksi kelapanya menyumbang 71% dari produksi kelapa dunia. Industri utama Sri Lanka adalah grafit atau timbal hitam yang sebagian besar diekspor ke Jepang.

Industri keramik dan porselen juga berkembang pesat. Sebuah brand porselen dengan kualitas yang diakui secara Internasional dari Jepang, 'Noritake', memiliki dua buah pabrik di Sri Lanka.

Pada akhir 30 tahun perang saudara di 2009, Sri Lanka memilih lebih fokus pada pasar domestik daripada mengekspor ke luar negeri. Jadi pendapatan dari ekspor rendah, sementara tagihan impor terus bertambah.

Pendapatan lain yang biasanya diandalkan Sri Lanka berasal dari pariwisata. Melansir data dari otoritas pariwisata negara tersebut, diperkirakan ada sekitar 1,9-2,3 juta turis yang datang ke Sri Lanka per tahun sebelum periode COVID-19.

Dengan garis pantai sepanjang 1.340 kilometer (km), Sri Lanka memiliki banyak pantai indah dan resorts di tepi pantai, baik oleh pengelola lokal maupun Internasional. Untuk kawasan tengah yang berupa dataran tinggi beriklim sejuk, banyak dikembangkan tempat-tempat wisata yang menampilkan keindahan perkebunan teh.

Selain itu, Sri Lanka memiliki banyak situs bersejarah dan obyek wisata yang tersebar di seluruh pulau. Dalam beberapa waktu terakhir akibat suhu politik yang meningkat, cukup banyak resorts yang terpaksa tutup karena tidak ada wisatawan datang.

Ketika berkuasa pada 2019, Presiden Gotabaya Rajapaksa memutuskan untuk memotong pajak demi mendapat simpati rakyat. Ini berarti pemerintah memiliki lebih sedikit uang untuk membeli mata uang asing di pasar Internasional untuk meningkatkan cadangannya.

Kekurangan mata uang Sri Lanka menjadi masalah yang sangat besar pada awal 2021. Pemerintah mencoba menghentikan arus keluar mata uang asing dengan melarang semua impor pupuk kimia dan meminta petani menggunakan pupuk organik. Hal ini menyebabkan kegagalan panen yang meluas.

Sri Lanka harus menambah stok makanannya dari luar negeri yang membuat kekurangan mata uang asingnya semakin parah. Sejak itu, pemerintah telah melarang impor berbagai macam barang 'tidak penting' dari mobil hingga jenis makanan tertentu dan bahkan sepatu.

Pemerintah juga mengumpulkan utang dalam jumlah besar untuk mendanai proyek infrastruktur yang tidak perlu. Pada akhir 2019, Sri Lanka memiliki cadangan mata uang asing sebesar US$ 7,6 miliar, namun pada Maret 2020 hanya menjadi US$ 2,3 miliar.

Kini Sri Lanka telah kekurangan barang-barang penting seperti makanan, obat-obatan, BBM, hingga gas memasak. Warga dipaksa antre berjam-jam di luar toko saat membeli kebutuhan itu.

Data dari World Bank mencatat pada April 2022, sekitar 11,7% rakyat Sri Lanka hidup dalam kemiskinan dengan pendapatan kurang dari 3,2 dollar AS per hari. Berarti ada sekitar 2,5 juta rakyat Sri Lanka yang pendapatannya kurang dari Rp 1,5 juta per bulan.

Dengan gambaran tersebut, pasti sudah terbayang bahwa Sri Lanka bukanlah negara kaya raya. Maka pendanaan berbagai proyek berasal dari utang luar negeri terutama Pemerintah Tiongkok hingga terjadi gagal bayar.




(aid/zlf)

Hide Ads