Jakarta -
Harga tandan buah segar (TBS) sawit di tingkat petani anjlok cukup dalam. Di Provinsi Riau misalnya, harga TBS sawit sudah di bawah Rp 1.000/kg. Di sana, rata-rata TBS sawit petani hanya dihargasi sekitar Rp 990/kg.
"Harga hari ini Rp 990 per kg untuk hantaran. Kalau jemput harga bisa Rp 940 per kg ," kata salah seorang petani sawit, Sultan kepada detikSumut, Jumat (24/6/2022) lalu.
Padahal, beberapa pekan lalu, harga TBS sempat menyentuh angka Rp 1.575 per kg. Namun, terus tertekan dan menyentuh level rendah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal senada disampaikan petani sawit asal Kuantan Singingi, Ali Wahidin. Menurut Ali, harga sawit di daerahnya rata-rata Rp 1.050 per kg.
"Kemarin panen harga Rp 1.050, tidak tahu sekarang. Mungkin sudah turun lagi harga," kata Ali.
Bila tak ada respons serius, kondisi ini bisa jadi ancaman sendiri bagi pelaku industri sawit khususnya di tingkat petani. Mereka khawatir usahanya bisa gulung tikar karena harga yang berlaku saat ini belum bisa menutup biaya produksi seperti pupuk dan upah buruh tani.
Lantas apa pemicunya?
Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat ME Manurung mengatakan, kondisi ini tak lepas dari kebijakan pemerintah menerapkaan larangan ekspor sawit.
Saat ini, pelaku usaha diwajibkan melakukan pemenuhan pasokan dalam negeri atau Domestik Market Obligation (DMO) agar bisa memperoleh persetujuan ekspor. Namun, ada permasalahan dalam penerapannya di lapangan.
Bersambung ke halaman selanjutnya.
Gulat mengatakan, pengusaha diwajibkan membayar biaya Flush Out (FO) atau biaya percepatan ekspor sebesar US$ 200 meski sudah memenuhi syarat DMO.
"Tetapi di KPBN diterjemahkan 'DAN'. Berarti dijumlah semua ditambah (biaya FO dan bea keluar/BK)," tutur dia.
Lantaran kondisi itu, ada beban tambahan biaya ekspor sawit yang langsung dirasakan petani. Karena dalam praktiknya, tambahan bea ekspor tersebut langsung dibebankan ke petani dalam bentuk potongan harga beli TBS.
"Mampuslah harga CPO ketika tender," tegasnya.
Benar saja, kini petani merana karena TBS sawitnya dihargai sangat rendah.
"Kalau saya antar 1.000 kg, hanya dibayar Rp 750. Makanya petani putus asa, stres mau ekspor saja," tandas dia.
Tersendatnya aktivitas ekspor juga turut berpengaruh pada penurunan harga di tingkat petani.
Menurut data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), stok CPO akhir bulan April 2022 adalah 6,103 juta ton, melonjak dibandingkan Maret 2022 yang 5,683 juta ton dan 3,269 juta ton di April 2021. Catatan itu menjadikan stok akhir April sebagai angka stok tertinggi sejak 6 tahun terakhir.
Melonjaknya stok CPO nasional tersebut tak lain diakibatkan oleh masih tersendatnya proses ekspor. Masih mengutip data GAPKI, ekspor minnyak sawit nasional pada April 2022 turun jadi 2,089 juta dibandingkan April 2021 yang mencapai 2,636 juta ton. Meski sedikit baik dibandingkan Maret 2022 yang tercatat 2,018 juta ton.
Di sisi lain, total konsumsi lokal hanya 1,752 juta ton. Akibatnya tangki-tangki penyimpanan CPO nasional penuh dan tak mampu lagi menyerap sawit petani.
Belum lagi, ada kendala dalam proses penyaluran CPO menjadi minyak goreng lantaran aturan dalam aplikasi SIMIRAH. Bagi pabrik rafinasi minyak goreng, sulit untuk menjual minyak goreng, karena syarat sistem SIMIRAH yang mengharuskan untuk melampirkan KTP, permintaan lokal tidak banyak.
Sehingga tangki penuh dan pembelian ke Pabrik Kelapa Sawit tersendat.
Tersendatnya pembelian oleh pabrik rafinasi, menyebabkan tangki cpo penuh. Sehingga banyak pabrik yang membatasi pembelian atau penerimaan TBS petani. Atau bahkan menurunkan harga beli dan tidak terima sama sekali.
Berkaca dari permasalahan di atas, Gulat berharap ada relaksasi aturan ekspor sawit nasional.
"Harus gerak cepat, dengan membuka ekspor, karena produksi harian CPO di Indonesia melebihi konsumsi Minyak Goreng di Indonesia. Jika ditunda maka akan terjadi kelebihan stok yang menyebabkan tangki-tangki timbun penuh, sehingga Pabrik Kelapa Sawit tidak memungkinkan untuk menyerap TBS petani," sebut dia.
Bahkan ia berharap pemerintah mencabut saja larangan ekspor saat ini.
"Presiden jelas cabut larangan ekspor karena ingat nasib 17 juta pekerja sawit," tegas dia.
Ia pun meminta pemerintah untuk mencabut aturan patokan harga dalam nageri atau domestic price obligation (DPO) karena dianggap sudah tidak relevan dengan kondisi saat ini di mana harga tender CPO di pasar internasional saat inisudah turun menjadi Rp 8.000 dari sebelumnya Rp 15.000.
"Ngapain dibuat DPO kalau CPO sudah Rp 8.000. Itu dibuat ketika Rp 15. Sekarng Rp 8.000, buang aturan itu," sebut dia.