Melepas Bayang-bayang Mimpi Buruk Jakarta Lewat TOD

Melepas Bayang-bayang Mimpi Buruk Jakarta Lewat TOD

Eduardo Simorangkir - detikFinance
Sabtu, 02 Jul 2022 07:00 WIB
Warga melintasi pedestrian jalan Kendal kolong Sudirman di Jakarta, Selasa (26/3/2019). Jalan yang kini menjadi penghubung antara stasiun Sudirman, Stasiun Kereta Bandara dan MRT dukuh atas tampak cantik dihiasi dengan lampu warna-warni.
Foto: Agung Pambudhy
Jakarta -
Kehadiran kawasan transportasi terintegrasi di Dukuh Atas adalah sebagian kecil bukti bagaimana TOD menuntaskan masalah eksklusi sosial pada sebuah kota.

Belakangan, di media sosial marak sekumpulan muda-mudi yang berasal dari luar kota Jakarta berkumpul di sebuah tempat dengan gaya busananya yang menarik perhatian publik. Tempat itu adalah kawasan berorientasi transit (TOD/transit oriented development) yang menjadi simpul sejumlah moda transportasi publik mulai dari TransJakarta, KRL, hingga MRT.

Berkumpulnya para remaja dari luar kota Jakarta tersebut menyita perhatian publik lantaran sebelumnya kawasan tersebut tak pernah dihampiri mereka. Sebelum TOD yang berlokasi di daerah Dukuh Atas itu dibangun, tempat tersebut menjadi salah satu titik kemacetan paling parah di Jakarta.

"Daerah TOD Sudirman ini bukti kalau kita butuh ruang terbuka yang aksesibel, inklusif, dan nyaman." cuit salah satu warganet dari akun Twitter @JV**HA.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kehadiran kawasan berorientasi transit di Dukuh Atas adalah sebagian kecil bukti bagaimana TOD menuntaskan masalah eksklusi sosial pada sebuah kota. Kawasan tersebut meningkatkan interaksi antarwarga hingga memberikan pengalaman yang menyenangkan ketika menggunakan ruang publik bersama-sama.

"Fenomena ini bagus dengan catatan mengedepankan sikap saling menghargai, menjaga keteraturan, kebersihan, dan kenyamanan area TOD," kata Direktur Utama MRT Jakarta William Sabandar kepada detikcom.

ADVERTISEMENT

Keluar dari Mimpi Buruk Kemacetan

Jakarta lama dikenal dengan kompleksitas masalah perkotaannya yang tak kunjung usai. Mulai dari masalah kemacetan, kebersihan, banjir, hingga ketimpangan.

Berbagai macam kebijakan dan pembangunan dilakukan silih berganti namun sederet masalah di atas tak kunjung tuntas. Bak pisau bermata dua, Jakarta dengan keistimewaannya sebagai magnet ekonomi sekaligus mengancam keberlanjutan kota itu sendiri.

Peningkatan jumlah populasi masyarakat di Jakarta yang lebih cepat dibandingkan pembangunan transportasi dan infrastrukturnya menjadi biang kerok. Hal ini membuat Jakarta sulit tumbuh menjadi kota yang sehat dan aktif. Pada akhirnya kemacetan terus menambah mimpi buruk buat Jakarta.

Berdasarkan data Korlantas Polri, jumlah kendaraan di wilayah hukum Polda Metro Jaya saat ini mencapai 22.091.244 unit. Dari angka tersebut, Jakarta dan sekitarnya menyumbang 14,87% dari total populasi kendaraan bermotor di Indonesia.

Jumlah kendaraan terbanyak kedua di Jakarta adalah mobil penumpang. Kendaraan roda empat itu terdaftar sebanyak 3.618.644 unit di Polda Metro Jaya atau yang terbanyak dari seluruh Indonesia.

Jakarta pun menjadi penyumbang populasi kendaraan bermotor terbesar kedua setelah Jawa Timur. Tak heran, kemacetan selalu menjadi 'teman dekat' yang mengerikan saat berada di Jakarta.

Kajian Bappenas pada 2019 mencatat macetnya lalu lintas di Jakarta menyebabkan rugi hingga Rp 65 triliun per tahun. Angka tersebut bisa dipakai untuk membangun sekitar 17 km jalur MRT bawah tanah di Jakarta (dengan asumsi biaya pembangunan MRT fase II 5,8 km sebesar Rp 22,5 triliun) atau membangun dan merevitalisasi ribuan sekolah di Jakarta. Angka Rp 65 triliun juga bisa dipakai untuk membangun puluhan sistem penyediaan air minum (SPAM) demi menyediakan layanan air minum yang lebih baik bagi masyarakat.

Masalah kemacetan sendiri tak serta merta bisa dituntaskan hanya dengan membangun moda transportasi saja. Selain menyediakan layanan transportasi yang baik, sebuah kota juga harus memiliki kawasan transit yang terintegrasi dengan kegiatan masyarakat, bangunan, dan ruang publiknya. Untuk itulah pembangunan sebuah kota juga harus dilengkapi sebuah kawasan berorientasi transit atau dikenal dengan istilah transit oriented development (TOD).

Salah satu cikal bakal hadirnya kawasan TOD di Jakarta adalah TOD Dukuh Atas. TOD tersebut menjelma menjadi area yang memiliki akses transit terbanyak di Jakarta. Setidaknya ada lima jenis moda transportasi publik yang bertemu di sana, yakni MRT Jakarta, BRT Transjakarta, kereta bandara, KRL commuterline, dan LRT Jabodebek. Tiap moda transportasi tersebut dapat ditempuh hanya dengan lima menit berjalan kaki melalui akses yang aman dan nyaman.

Kehadiran TOD semakin menambah jumlah penggunaan transportasi umum di perkotaan. Terbukti, kemacetan di Jakarta terus menurun dalam tiga tahun terakhir.

Data TomTom Traffic Index mencatat, tingkat kemacetan di Jakarta saat ini berada di angka 34%. Artinya waktu perjalanan 34% lebih lama dibandingkan dengan kondisi awal tanpa kemacetan. Angka ini sendiri menunjukkan penurunan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Data menunjukkan waktu perjalanan rata-rata berkurang 2 menit per hari. Sebelumnya tingkat kemacetan di Jakarta sempat menembus level 53% pada 2019 dan 36% pada 2020.

Kemacetan Jakarta juga berkurang di jam-jam sibuk. Pada jam sibuk pagi hari, saat ini berada di level 37% atau turun 25% dibandingkan level pada 2019. Sedangkan kemacetan di jam sibuk malam hari turun 22% dibandingkan 2019 atau kini ada di level 65%.

Angka tersebut masih jauh dari sempurna, tapi cukup menjadi bukti bahwa TOD yang mulai tumbuh sejak 3 tahun terakhir bisa menjadi salah satu solusi dari masalah-masalah perkotaan yang dihadapi Jakarta. Kehadiran TOD pada akhirnya akan mempertahankan pertumbuhan ekonomi Jakarta di tengah tuntutan kepadatan penduduk dan mobilitas perkotaan yang sangat tinggi.

TOD Ubah Wajah JakartaTOD Ubah Wajah Jakarta Foto: Tim Infografis/Fauzan Kamil
Kehadiran TOD pada akhirnya akan mempertahankan pertumbuhan ekonomi Jakarta di tengah tuntutan kepadatan penduduk dan mobilitas perkotaan yang sangat tinggi.

TOD Solusi Kota Berkelanjutan

TOD merupakan pembangunan kawasan multiguna yang bertumpu pada kemudahan berjalan kaki ke satu titik simpul transportasi umum. Dengan adanya TOD, maka masyarakat akan dimudahkan untuk menuju tempat tujuannya hanya dengan berjalan kaki.

Definisi TOD di masyarakat kerap keliru karena disamakan dengan hunian yang dibangun dekat stasiun saja. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2017 menjelaskan, kawasan berorientasi transit atau TOD merupakan pengembangan yang mengintegrasikan desain ruang kota untuk menyatukan orang, kegiatan, bangunan, dan ruang publik melalui konektivitas yang mudah dengan berjalan kaki ataupun bersepeda serta dekat dengan pelayanan transportasi publik.

"TOD yang sebenarnya adalah konsep pengembangan suatu wilayah yang berorientasi transit transportasi yang lebih mengedepankan perpindahan antarmoda transportasi dengan berjalan kaki atau upaya yang tidak menggunakan kendaraan bermotor," jelas Pengamat Transportasi Publik sekaligus Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan MTI, Djoko Setijowarno.

Saat ini setidaknya ada lima TOD yang tengah dibangun oleh PT MRT Jakarta di sepanjang jalur MRT yang dikelolanya. MRT Jakarta diberikan mandat oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk menjadi operator utama pengelola kawasan TOD. Lima TOD yang tengah dikerjakan saat ini di antaranya TOD Blok M, TOD Lebak Bulus, TOD Fatmawati, TOD Dukuh Atas, dan TOD Istora.

Mengutip data MRT Jakarta per 30 Juni 2022, progres TOD Blok M untuk Plaza Transit Jalan Mahakam sebesar 83% dan Taman Literasi Martha Christina Tiahahu sebesar 70%.

Kemudian TOD Lebak Bulus untuk Simpang Temu Lebak Bulus 94%, dan park and ride Lebak Bulus 5,25%. TOD Fatmawati untuk hunian TOD nya saat ini sudah 65%.

Untuk TOD Dukuh Atas, ada beberapa proyek yang sedang dikerjakan. Di antaranya Serambi Temu Dukuh Atas yang saat ini progresnya 50%, Simpang Temu Dukuh Atas 29%, Pedestrian Tunnel UOB-MRT Dukuh Atas 25%, dan Pedestrian Blora 25%. Sementara untuk TOD Istora, saat ini baru dibangun pedestrian tunnel Menara Mandiri-MRT Istora. Seluruh TOD tersebut ditargetkan rampung tahun ini hingga tahun depan.

Tarif parkir kalau bisa 10 kali lipat dari tarif naik angkutan umum dan lahannya dipersempit. Jangan malah memperluas lahan parkirDjoko Setijowarno, Pengamat Transportasi

Butuh Kebijakan Pendorong

TOD sebagai solusi masalah perkotaan tak sekadar membangun bangunannya. Pengamat Transportasi Djoko Setijowarno mengatakan, ada sejumlah kebijakan yang harus dibuat oleh Pemda untuk bisa mendukung kemudahan bagi pejalan kaki dan transportasi umum di kotanya. Misalnya pembatasan penggunaan kendaraan bermotor, penataan parkir, hingga memiliki jaringan jalur pejalan kaki atau aksesibilitas tinggi.

"Berani nggak dibikin larangan sepeda motor, ERP, tarif parkir dinaikkan, parkir di jalan dilarang?" kata Djoko kepada detikcom.

Lebih jauh, Djoko berharap tarif parkir kendaraan di Jakarta bisa dinaikkan lebih tinggi dibandingkan biaya menggunakan transportasi umum. Hal ini akan mendorong masyarakat menggunakan transportasi umum, sehingga hadirnya TOD akan membuat pengalaman menggunakan transportasi umum lebih mudah dan menyenangkan.

"Tarif parkir kalau bisa 10 kali lipat dari tarif naik angkutan umum dan lahannya dipersempit. Jangan malah memperluas lahan parkir," kata Djoko.

Pada akhirnya, pilihan menggunakan layanan transportasi umum juga bisa membuat masyarakat lebih mudah mendapatkan rumah impiannya. Pasalnya, masyarakat diharapkan tak perlu lagi dipusingkan harus mencicil kendaraan bermotor demi mobilitasnya di wilayah perkotaan.

"Kebijakan ini bisa membantu milenial. Biar kaum milenial kalau beli rumah, cuma ngangsur rumah, nggak ikut kendaraan bermotor. Nanti kan rumahnya bisa lebih besar." kata Djoko.

Hal ini sesuai dengan kajian World Economic Forum, di mana selama ini penduduk berpenghasilan rendah dibebani dua kali lipat dengan kekurangan perumahan yang terjangkau dan biaya transportasi yang tinggi.

Laporan jurnal dari The National Academy of Science mencatat bahwa orang Amerika berpenghasilan rendah menghabiskan sekitar 17,8% dari pendapatan tahunan mereka untuk biaya transportasi. Biaya itu bisa 50% lebih tinggi untuk rumah tangga berpenghasilan sangat rendah. Tetapi hadirnya TOD yang baik akan membuat biaya tersebut turun setidaknya hingga 9% dari pendapatan tahunan.

Jika dilakukan dengan benar, pada akhirnya pengembangan kawasan berorientasi transit atau TOD (transit oriented development) akan membentuk suatu wilayah yang aman, berdaya saing, berkualitas, dan berkelanjutan. Meski tak semua tempat harus dibangun TOD.

TOD sebagai solusi masalah perkotaan tak sekadar membangun bangunannya.

Singapura dan Jepang adalah bukti bagaimana kehadiran TOD sukses melepas mimpi-mimpi buruk yang pernah hadir di kota-kota kedua negara tersebut. TOD yang direncanakan dengan baik akan memberi manfaat bagi masyarakat dari semua tingkat pendapatan dan memungkinkan mereka lebih aktif dalam mendapatkan keuntungan lewat peningkatan akses ke pekerjaan dan peluang lainnya.

(eds/ara)

Hide Ads