Boris Johnson Lengser, Ini Sederet PR Besar Ekonomi Inggris

Boris Johnson Lengser, Ini Sederet PR Besar Ekonomi Inggris

Shafira Cendra Arini - detikFinance
Kamis, 07 Jul 2022 22:00 WIB
LONDON, ENGLAND - JULY 07: Prime Minister Boris Johnson addresses the nation as he announces his resignation outside 10 Downing Street on July 7, 2022 in London, England. After a turbulent term in office, Boris Johnson will resign from his roles as Conservative Party Leader and Prime Minister today after coming under pressure from his party. Eton and Oxford-educated Alexander Boris de Pfeffel Johnson, MP for Uxbridge and South Ruislip, was elected as Prime Minister in the 2019 General Election. (Photo by Leon Neal/Getty Images)
Foto: Getty Images/Leon Neal
Jakarta -

Pengunduran diri Boris Johnson dari kursi Perdana Menteri Inggris menyisakan PR alias pekerjaan rumah besar, terutama pemulihan ekonomi. Inggris saat ini menghadapi tingkat inflasi hampir menyentuh dua digit, resesi ekonomi, hingga dampak Brexit.

Berikut gambaran kondisi ekonomi Inggris dikutip dari Reuters:

Inflasi

DIbandingkan dengan beberapa negara lainnya, Inggris mengalami tekanan inflasi tertinggi selama 40 tahun terakhir sebesar 9,1%. bahkan, Bank of England (BoE) sendiri memperkirakan angka tersebut akan mencapai 11% pada akhir tahun ini, dilansir melalui Reuters, Kamis (07/07/2022).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di sisi lain, Dana Moneter Internasional mengatakan pada bulan April bahwa Inggris menghadapi inflasi yang lebih persisten, serta pertumbuhan yang lebih lambat, daripada ekonomi utama lainnya pada tahun 2023.

Penurunan poundsterling baru-baru ini telah menambah tekanan inflasi. Meski demikian, prospek peningkatan pengeluaran publik atau pemotongan pajak untuk menopang kekayaan Partai Konservatif sedikit menaikkan nilai mata uang itu pada hari Kamis.

ADVERTISEMENT

Akan tetapi, siapapun yang menggantikan Johnson memiliki pekerjaan rumah yang besar untuk mengimbangi dampak lonjakan harga energi dan pangan global.


Kebijakan fiskal

Siapa pun yang menggantikan Johnson, harus mengambil keputusan besar tentang pajak dan memilah pengeluaran yang dapat mengurangi risiko resesi. Di sisi lain, langkah tersebut juga dapat membuat inflasi semakin memanas dalam perekonomian.

Mantan Menteri Keuangan Inggris, Rishi Sunak mengatakan dia tidak setuju atas kebijakan Johnson, yang melakukan banyak pemotongan pajak. Prioritas jangka pendek Sunak sebelum mengundurkan diri adalah meringankan beban hutang Inggris yang melonjak di atas 2 triliun poundsterling (Rp 35,959 triliun) selama pandemi virus corona.

Di sisi lain, Analis di Bank AS Citi mengatakan, mereka memperkirakan pesaing kepemimpinan Partai Konservatif, Priti Patel dan Liz Truss, yang menjabat sebagai menteri dalam negeri dan luar negeri Johnson, mungkin menyerukan pemotongan pajak cepat dan pengeluaran yang lebih tinggi. Sementara itu, Sunak dan mantan Menteri Kesehatan Sajid Javid cenderung lebih berhati-hati.

Salah seorang pengawas anggaran Inggris mengatakan pada hari Kamis, dalam waktu 50 tahun utang Inggris bisa capai lebih dari tiga kali lipat menjadi hampir 320% dari PDB. Hal tersebut mungkin terjadi apabila pemerintah masa depan tidak memperketat kebijakan fiskal.

Masih ada PR lainnya yang perlu dibereskan demi menjaga ekonomi Inggris. Langsung klik halaman berikutnya


Brexit

Lebih dari enam tahun setelah Inggris memilih untuk meninggalkan Uni Eropa, London dan Brussels tetap berselisih karena desakan Johnson untuk menulis ulang aturan yang dia setujui pada 2019, menyangkut perdagangan yang melibatkan Irlandia Utara.

Pergantian perdana menteri ini berkemungkinan memberikan dampak pada peningkatan hubungan dengan UE. Beberapa ekonom memperkirakan ekspor dan investasi Inggris akan meningkat jadi lebih kuat.

Selain itu, beberapa kandidat terdepan untuk menggantikan Johnson, terutama menteri luar negeri Truss, secara terbuka mendukung sikap agresifnya terhadap UE.

Bank Sentral

Bank Sentral Inggris telah menaikkan suku bunga lima kali sejak Desember, kenaikan tertajam dalam 25 tahun, dan telah mengisyaratkan peningkatan itu akan terus terjadi. bahkan, peningkatan itu berkemungkinan capai setengah poin persentase pada pertemuan berikutnya di bulan Agustus.

Meski demikian, risiko perlambatan ekonomi global beberapa waktu belakangan telah mengurangi jumlah investor. Ketidakpastian atas arah kebijakan fiskal Inggris dapat memberikan alasan lain untuk berhati-hati.


Hide Ads