Belakangan ini stigma tentang hidup enak dan gaya ala pegawai startup mulai melekat dalam benak masyarakat. Kantor yang berlokasi di kawasan-kawasan bisnis elit, hingga nongkrong setiap hari di coffee shop berlogo putri duyung, seakan melekat dalam keseharian para pekerja startup yang dikenal dengan istilah 'Startup Life'.
Di balik keindahan yang dilihat dan diceritakan oleh orang-orang itu, ternyata tidak semua mengalami nasib yang sama. Seperti halnya yang dialami oleh seorang pegawai di salah satu startup di bidang kesehatan yang satu ini. Menurut orang yang tidak mau disebutkan identitasnya ini, ia harus rela mendapat beban kerja tambahan tanpa adanya penambahan gaji.
"Gue kerja sebagai konsultan. Cuma karena mereka tahu kemampuan gue seperti apa, gue di double job-in jadi research and development (R&D). Meski demikian, gue tetep di bayar satu, untuk satu job itu dan gak double," ujarnya kepada detikcom, Rabu (13/07/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada awalnya, ia berpikir, ini merupakan risikonya bekerja di startup kecil. Pekerjaannya pun sebagai konsultan cukup santai, tetapi lama kelamaan beban kerjanya semakin membludak.
"Mereka nge-push tapi gak ngasih apresiasi. Kita lembur sampai jam 1 pagi, tapi kita gak dikasih hak prerogatif untuk dapat bayaran lembur," tambahnya.
Oleh sebab itu, dia mengaku gaji yang ia dapatkan tidak sepadan dengan hasil jerih payahnya. Makanya, dia perlu mencari penghasilan tambahan dari sumber lainnya. Bahkan hal ini pun membuatnya sama sekali tidak dapat mengikuti gaya hidup yang digadang-gadang semua orang itu.
"Buat nutupin gaji sekecil itu aja, gue cari kerja tambahan di tempat lain. Tapi untuknya gue gak konsumtif, nongkrong cuma 1-2 kali seminggu. Sisanya cari promo dan gratisan," tutupnya
Di sisi lain, pegawai startup lain yang juga enggan disebutkan namanya mengatakan, lifestyle para pegawai startup yang terlihat itu tidak dibentuk karena lingkungan kerja startup, melainkan sudah menjadi bawaan dari setiap individu, bahkan sebelum bekerja di perusahaan itu.
"Harus gue akuin lifestyle di lingkungan kerja gue memang rada-rada menengah ke atas, untuk kaya spent money on themselves. Menurut gue, itu bawaannya bukan karena startup, tapi memang mereka dari dulu kayak gitu. Ibaratnya mereka udah punya lifestyle itu," ujar dia.
Ia mengatakan, baik perkara mengatur waktu agar tidak overwork, maupun mengikuti lifestyle lingkungan kantor, adalah pilihan yang bergantung pada masing-masing individu. Pun dari segi gaji yang ia peroleh, menurutnya cukup untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari.
"Gaji cukup, gak kurang nggak lebih. Kalau nongkrong-nongkrong kayak gitu, gue masih bisa tahan karena itu bukan gue. Kalau temen-temen gue ngajak, ya itu bisa gue atur," tuturnya.
"Di startup gue manusiawi. Memang ada beberapa kasus di startup lain yang nggak manusiawi soal beban kerja. Memang kadang overload banyak yang harus dikerjain. Tapi selama gue bisa mengatur, pun company nggak menyarankan lembur, gue selalu berusaha untuk nggak overtime," ujar dia.
Lanjut ke halaman berikutnya.
Simak Video "PLN Startup Day 2025: Jembatan Startup Wujudkan Energi Masa Depan"
[Gambas:Video 20detik]