Jakarta -
Sektor kelautan dan perikanan memberikan banyak pelajaran sekaligus tantangan bagi saya tidak sebatas sebagai seorang menteri, melainkan sebagai manusia.
Hal ini karena yang bergantung kepada laut bukan hanya para nelayan atau orang yang hari-harinya hilir mudik di lautan, tapi semua makhluk di bumi.
Memiliki area paling luas di Indonesia, laut menyokong banyak aspek kehidupan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari sanalah air dan protein terbesar dihasilkan, begitu pula oksigen yang kita hirup setiap saat. Laut juga berperan sebagai pengatur iklim yang kaitannya dengan cuaca hingga bencana. Dan yang tak kalah krusial, jutaan orang menggantungkan hidup dari laut.
Untuk itu, perlu kejelian dalam mengelola sektor ini agar kebutuhan manusia tetap terpenuhi dan ekosistem laut senantiasa lestari. Inilah yang mendasari saya bersama tim di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengedepankan program-program berbasis ekonomi biru pada tata kelola sektor kelautan dan perikanan Indonesia.
Cukup banyak tantangan dalam mengimplementasikan prinsip ekonomi biru tersebut.
Salah satu yang besar adalah banyaknya sampah yang mencemari lautan yang secara langsung maupun tidak langsung berdampak pada kelangsungan hidup beragam biota di dalamnya.
Jutaan ton sampah mencemari laut Indonesia setiap tahunnya, yang berasal dari kegiatan manusia di laut dan juga di daratan. Sampah-sampah dari darat berakhir sampai laut melalui aliran-aliran sungai.
Dari literatur yang saya baca, sampah laut banyak jenisnya. Selain plastik, ada jenis sampah logam seperti kaleng minuman dan pembungkus kertas timah sekali pakai. Lalu jenis sampah gelas berupa botol dan bola lampu. Kemudian sampah pakaian dan tekstil, hingga sampah karet yakni ban, balon, sampai sarung tangan.
Sedangkan berdasarkan ukuran, sampah laut dibagi dalam lima kategori, yakni mega debris berukuran lebih dari 1 meter yang pada umumnya ditemui di perairan laut lepas. Di susul macro debris dengan ukuran di atas 2,5 cm sampai kurang dari 1 meter yang banyak ditemukan di dasar maupun permukaan perairan.
Ada pula meso debris dengan ukuran 5 mm sampai di bawah 2,5 cm. Sampah ukuran ini biasanya terdapat di permukaan perairan maupun sudah tercampur dengan sedimen.
Selanjutnya ada sampah sangat kecil yakni micro debris (ukuran 0,33 sampai 5,0 mm) dan nano-debris yang ukurannya lebih kecil lagi dari micro debris.
Dua sampah ini sangat berbahaya karena dengan mudah masuk ke tubuh organisme laut, termasuk ikan dan kerang-kerangan yang biasa kita konsumsi
Sektor kelautan dan perikanan memberikan banyak pelajaran sekaligus tantangan bagi saya tidak sebatas sebagai seorang menteri, melainkan sebagai manusia.
Lanjut ke halaman berikutnya
Sampah ukuran sangat kecil, khususnya berbahan plastik dan logam, bila terus menerus masuk ke tubuh biota laut, maka bisa merusak metabolisme yang dapat mengakibatkan kematian si biota. Beberapa kasus sudah membuktikan hal ini, di antaranya hiu paus yang ditemukan mati dengan perut berisi mikro plastik.
Komoditas perikanan yang sudah terkontaminasi mikro dan nano debris juga dapat membahayakan kesehatan manusia pengonsumsiannya. Mulai dari ancaman penyakit ringan hingga berat.
Di sisi lain, pencemaran sampah juga bisa menyebabkan kerusakan ekosistem terumbu karang, lamun, dan juga mangrove. Padahal ketiganya punya peran besar dalam menyerap kelebihan karbon di atmosfer, dan menjadi habitat beragam biota laut selama ini.
Jadi pencemaran sampah laut ini bukan masalah kecil, karena mampu menimbulkan kerusakan di banyak aspek ekosistem laut.
Dari banyaknya jenis sampah yang ada di lautan, plastik dan logam jumlahnya paling mendominasi. Ironisnya lagi sampah jenis ini baru bisa terurai dalam kurun waktu sangat lama mencapai puluhan bahkan ratusan tahun.
Kondisi di atas menjadikan sampah adalah warisan paling buruk yang diberikan manusia pada generasi penerusnya.
Bulan Cinta Laut
Sebagai pengampu sektor kelautan, KKP terus berimprovisasi melakukan penangangan sampah di laut.
Seperti menyelenggarakan Sekolah Pantai Indonesia, melakukan pengendalian sampah di muara sungai, serta menyusun SOP kegiatan perikanan tangkap dan perikanan budidaya yang ramah lingkungan.
Kemudian KKP membangun sarana dan prasarana penanganan sampah di setiap pelabuhan samudera (PPS) dan nusantara (PPN), sekaligus menerapkan sertifikasi manajemen lingkungan ISO 14000.
Selanjutnya membangun fasilitas Tempat Penampungan Sementara (TPS) atau pusat daur ulang di pulau-pulau kecil terluar, hingga melakukan penelitian pencemaran sampah di laut dan dampaknya.
Memperkuat aksi penanganan yang sudah berjalan itu saya juga menginisiasi program Bulan Cinta Laut (BCL) pada akhir Januari 2022.
Ruang lingkup program ini lebih dari sekadar mengambil sampah yang ada pantai dan laut dalam waktu beberapa jam, seperti yang sudah berjalan setidaknya di sembilan lokasi selama ini.
Program ini kami perkuat dengan keterlibatan para nelayan, di mana akan ada waktu satu bulan dalam setahun untuk nelayan pergi melaut khusus menangkap sampah bukan ikan. Sampah yang dihasilkan kemudian dihargai setara satu kilogram ikan.
Melalui program ini, kami ingin menghadirkan penanganan sampah laut yang menyeluruh dari hulu hingga hilir, dari daratan hingga ke tengah lautan.
Targetnya sampah plastik di laut benar-benar bisa berkurang sampai 70 persen pada tahun 2025 sebagaimana amanat Perpres 83 Tahun 2018 tentang Penanganan Sampah Laut.
Di sisi lain, pelaksanaan program BCL tidak akan mengganggu penghasilan para nelayan secara signifikan, karena ada nilai ekonomi dari sampah-sampah yang mereka kumpulkan.
Tidak menutup kemungkinan, pelaksanaan BCL melaut menangkap sampah lama kelamaan bertransformasi dari program kerja pemerintah menjadi pesta rakyat yang ditunggu-tunggu kehadirannya.
Jika ini terjadi, sangat mungkin kegiatan ekonomi lainnya bisa ikut hadir.
Implementasi BCL satu bulan menangkap sampah tentu tak semudah membalikkan telapak tangan.
Bagaimana menggugah para nelayan mau terlibat, penyiapan anggaran untuk pembiayaan kompensasi sampah, termasuk apa yang harus dilakukan terhadap sampah-sampah yang sudah terkumpul sehingga tidak kembali mencemari laut melainkan menjadi produk turunan yang punya nilai.
Kami tengah menyusun regulasi sebagai dasar dan acuan pelaksaan program BCL. Sinergi multipihak juga kami galakkan karena peran berbagai elemen sangat penting untuk mendukung keberhasilan program ini.
Jika tak ada kendala, dua tiga bulan lagi, program ini bisa kita luncurkan secara nasional.
Pada forum United Nation Oceans Conference (UNOC) 2022 di Lisbon, Portugal beberapa waktu lalu, ide besar BCL turut saya presentasikan baik ketika menjadi pembicara maupun saat bertemu delegasi negara-negara peserta, utusan lembaga serta organisasi internasional lainnya.
Alhamdulillah, rata-rata mengapresiasi dan siap memberi dukungan karena sama-sama memahami bahwa sampah laut bukan hanya persoalan Indonesia, tapi semua negara-negara di dunia.
Saya percaya, jika semua turun tangan, bahu membahu, maka persoalan sampah yang berat ini akan lebih ringan penyelesaiannya. Dengan demikian, semboyan lautan sebagai sumber kehidupan terus terjaga.
Ditulis oleh
Menteri Kelautan dan Perikanan RI
Sakti Wahyu Trenggono
Simak Video "Video Menteri Trenggono: Pulau Kecil Tak Boleh Dijual, Akan Diawasi Satelit"
[Gambas:Video 20detik]