Ekonomi RI Boleh Ngacir, Tapi Harus Tetap Waspada Resesi

Ekonomi RI Boleh Ngacir, Tapi Harus Tetap Waspada Resesi

Sylke Febrina Laucereno - detikFinance
Jumat, 05 Agu 2022 16:52 WIB
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat realisasi pertumbuhan ekonomi secara kumulatif atau sampai September 2018 sebesar 5,17%.
Ekonomi RI Boleh Ngacir, Tapi Harus Tetap Waspada Resesi/Foto: Agung Pambudhy
Jakarta -

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II-2022 5,44% secara tahunan (year on year/yoy). Kepala BPS Margo Yuwono mengungkapkan jika pemerintah harus waspada pada kuartal III dan kuartal IV.

Hal ini karena pada kuartal II pendorong ekonomi ditopang oleh momen Idul Fitri dan pelonggaran mobilitas oleh pemerintah.

"Menurut saya ini jauh dari resesi sampai kuartal II tapi pada kuartal III dan kuartal IV kita perlu waspada, karena pertumbuhan kuartal II ini disebabkan oleh banyak faktor," kata dia di Kantor Pusat BPS, Jakarta Pusat, Jumat (5/8/2022).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Selain itu juga ada keuntungan dari ekspor yang memang tumbuh tinggi. Lalu Margo menyebut untuk indikator kedua adalah kebijakan pemerintah dari sisi fiskal dengan memberikan subsidi energi membuat pelaku usaha dan masyarakat beraktivitas.

"Kemudian dari sisi usaha dari kebijakan tadi kan suku bunga acuan masih tetap ya itu juga membuat pelaku wirausaha masih kondusif untuk melakukan aktivitas ekonominya," ujar dia.

ADVERTISEMENT

Margo mengatakan jika upaya pemerintah pada kuartal II tahun ini sangat baik. Kebijakan fiskal dan moneter bekerja dengan kompak dan terukur.

"Jadi kuartal II ini pemerintah keren, fiskal maupun moneter bekerja kompak dan terukur hingga berdampak ke perekonomian nasional 5,44%. Itu bagus sekali," jelas dia.

Pemerintah Harus Waspada

Menurutnya kondisi ini sangat tergantung dengan kebijakan subsidi ke depan dan pergerakan inflasi inti. Serta bagaimana kebijakan Bank Indonesia (BI) yang merespons inflasi dan bisa berdampak ke dunia usaha.

Indonesia masih akan menghadapi tantangan ke depan, mulai dari energi sampai nilai tukar yang berkaitan dengan impor bahan baku. Jika nilai tukarnya melemah maka impor bahan baku membutuhkan biaya besar dan akan mempengaruhi produksi domestik.

"Jadi kalau biaya produksinya naik maka akan ada kenaikan harga. Termasuk untuk impor bahan dari luar negeri nah ini akan menjadi imported inflation yang berasal dari nilai tukar," jelas dia.

Kemudian pemerintah juga harus memperhatikan kebijakan terkait harga BBM. Pemerintah harus mampu mengelola harga BBM yang saat ini lebih rendah dari harga internasional karena subsidi.

(kil/ara)

Hide Ads