Mempertimbangkan perkiraan ke depan dan tren konsumsi BBM kita selama ini, maka sebaiknya pemerintah segera membuat berbagai kebijakan untuk mengantisipasi tekanan terhadap APBN pada sisi subsidi energi pada tahun 2023. Beberapa langkah mitigasi yang bisa dilakukan pemerintah antara lain;
• Melakukan reformasi kebijakan subsidi energi sesegera mungkin. Mengubah subsidi energi yang semula berbasis komoditas menjadi berorientasi pada orang. Data TNP2K menyebutkan dari 50,2 rumah tangga yang menerima program subsidi LPG 32% rumah tangga dengan kondisi sosial ekonomi terendah hanya menikmati 22% dari subsidi LPG, sementara 86% dinikmati oleh kelompok yang lebih mampu. Hal ini terjadi karena tabung LPG subsidi diperjualbelikan bebas di pasaran bersamaan dengan LPG non subsidi dengan selisih harga yang jauh, sehingga mayoritas rumah tangga menggunakan LPG subsidi.
Subsidi listrik justru diterima oleh kelompok yang tergolong mampu secara ekonomi. Ironisnya hanya 26% kelompok miskin dan rentan yang menikmati subsidi listrik. Hal ini terjadi karena sebagian rumah tangga kaya masih menggunakan konsumsi listrik 900 VA.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jika dihitung secara nominal, rumah tangga miskin hanya menerima subsidi listrik Rp. 63.399/bulan sementara rumah tangga kaya menerima subsidi listrik Rp. 168.390/ bulan dengan merujuk tingkat konsumsi listrik bulanan dari golongan 900 VA.
Hal serupa akan kita alami pada Pertalite seiring dengan gap harga yang cukup jauh antara Pertalite dengan Pertamax. Migrasi konsumen Pertamax ke Pertalite akan berkonsekuensi beban subsidi Pertalite meningkat.
Oleh sebab itu pemerintah perlu mengubah sasaran subsidi energi tertuju pada keluarga miskin, bukan komoditas. Secara perlahan alihkan mekanisme distribusi LPG subsidi dari penjualan terbuka menjadi semi tertutup dan integrasikan pemberian subsidi LPG melalui data terpadu DTSK Kemensos, demikian juga para penerima subsidi listrik dan BBM, semua penerima subsidi listrik dan BBM terintegrasi datanya melalui DTSK Kemensos.
• Telah lama kita tidak menaikkan harga BBM, LPG dan Listrik subsidi. Pemerintah perlu secara perlahan menaikkan harga BBM, LPG dan Listrik bersubsidi dengan tetap mempertimbangkan kondisi makro ekonomi, serta daya beli rakyat, terutama golongan menengah bawah. Namun pada saat harga energi rendah pemerintah juga menurunkan harga BBM, LPG, dan listrik. Kebijakan seperti ini pernah kita lakukan beberapa tahun lalu, dan masih sangat relevan digunakan sebagai skema untuk menyeimbangkan kekuatan fiskal APBN kita.
• Pemerintah perlu melakukan renegosiasi kontrak pembelian minyak bumi untuk mendapatkan harga yang lebih ekonomis. Dengan posisi minyak Rusia yang masih terkena imbas pelarangan penjualan di Eropa dan Amerika Serikat, sesungguhnya sangat terbuka bagi Indonesia untuk mendapatkan pasokan minyak dari Rusia, terlebih lagi pertamina pernah mendapatkan suplai minyak dari Rusia. Politik luar negeri kita bebas aktif, harusnya kita lebih mengedepankan kepentingan nasional, khususnya dalam mendapatkan harga minyak bumi impor dengan harga yang lebih ekonomis.
• Mendorong peningkatan investasi pada sektor hulu migas agar hasil minyak bumi kita tidak bertumpu pada sumur sumur lama yang sudah uzur, termasuk konsisten menjalankan target Refinery Development Master Plan, serta meningkatkan kapasitas pengolahan minyak mentah hingga 2 juta barel per hari. Kedisiplinan pada target ini perlu kita dapatkan mengingat tren kedepan sebagaimana trajektori energi yang dirumuskan oleh Kementerian ESDM menunjukkan tren impor minyak mentah, BBM, LPG dan Listrik kedepan terus meningkat.
• Untuk mengurangi beban ketergantungan terhadap minyak bumi yang sedemikian besar, pemerintah perlu secara progresif menjalankan kebijakan konversi energi. Realisasi investasi sektor energi baru terbarukan dan konservasi energi (EBTKE) sepanjang 2021 hanya mencapai US$ 1,51 miliar atau 74% dari target yang ditetapkan US$ 2,04 miliar. Bauran energi baru terbarukan (EBT) mencapai 11,5% atau setara dengan 168,7 juta barel setara minyak (MBOE) per akhir tahun 2021 lalu. Angka bauran ini sedikit mengalami kenaikan jika dibandingkan dengan posisi bauran EBT per akhir 2020 lalu yang sebesar 11,2% atau setara 163,2 MBOE.
Secara terperinci, bauran energi nasional per akhir tahun 2021 terdiri atas batubara dengan porsi 38,0%, minyak bumi 31,2%, gas bumi 19,3%, dan EBT 11,5%. Jika merujuk pada Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) bauran EBT ditargetkan mencapai 14,5% atau setara 319,3 MBOE di akhir tahun 2021, namun capaian kita hanya 11,5%. DPR mendorong pemerintah bisa mengupayakan target RUEN bisa terpenuhi pada tahun depan, sehingga porsi EBT semakin besar.
• Untuk mengurangi beban ekonomi akibat masih tingginya harga komoditas dunia di tahun depan, pemerintah perlu terus menguatkan program perlindungan sosial. Program ini kita harapkan menjadi bantalan bagi keluarga miskin menghadapi potensi kenaikan berbagai barang dan jasa pada tahun depan.
MH Said Abdullah
Ketua Badan Anggaran DPR
Simak Video "BPS: Pertumbuhan Ekonomi RI Kuartal II-2022 5,44%"
[Gambas:Video 20detik]
(ang/ang)