Lebih lanjut ia menjelaskan, ketergantungan RI kepada impor minyak cukup tinggi dan potensi RI terpengaruh dengan kondisi kestabilan ekonomi dunia juga semakin besar. Pun akibatnya beban keuangan menjadi semakin berat dan tidak stabil.
"Oleh karena itu, tidak terlalu disarankan untuk subsidi ke BBM. Semakin dekat atau menyamai semakin baik, semakin sustain. Dan masyarakat juga harus dibiasakan, kalau memang kondisi harga minyak dunia ini naik turun," tambahnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski demikian, ia mengaku pada awalnya penurunan subsidi ini tentunya akan sangat sulit bagi masyarakat RI. Apalagi, hal ini tentu akan berimbas pada berbagai sektor ekonomi lainnya dan harga-harga komoditas.
"Ya begini risikonya, ada jebakan dari politik populis. Kalau terlalu kesana memang bisa mengorbankan sustainability fiskal. Itu yang memang harus menjadi perhatian para pemangku kebijakan," ujarnya.
Sebagai tambahan informasi, pemerintah rencananya akan menggelontorkan sebesar Rp 336,7 triliun untuk subsidi energi dan kompensasi. Angka subsidi energi tersebut lebih rendah dari tahun ini yang capai Rp 502,4 triliun. Anggaran itu terdiri dari subsidi energi Rp 210,7 triliun dan anggaran kompensasi Rp 126 triliun. Sedangkan untuk subsidi BBM jenis tertentu dan LPG sendiri capai angka Rp 138,3 triliun.
Sementara itu, untuk anggaran perlindungan sosial sendiri dialokasikan sebesar Rp 479,1 triliun untuk membantu masyarakat miskin dan rentan memenuhi kebutuhan dasarnya, dan dalam jangka panjang diharapkan akan mampu memotong rantai kemiskinan.
(ara/ara)